SCENE SEVEN

2.6K 214 9
                                    

        Dedication : @veehuu

"Aku harus segera pulang, ada yang harus aku kerjakan. Kau mau ikut atau masih ingin disini?" ucap Lucy setelah pulang sekolah sambil berjalan menuju parkiran.

       Alice menggelengkan kepalanya. "Thomas sedang berbaik hati ingin menjemputku, jadi sebaiknya kau segera pulang."

       Lucy mengangguk kemudian berjalan meninggalkan Alice sendirian.  Saat sudah mencapai mobilnya, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan sejumlah nomor Thomas, supir pribadi Alice. "Thomas, ini Lucy. Alice memintamu menjemputnya sekarang," tanpa menunggu jawaban, Lucy mematikan panggilannya dan tersenyum miring.

       Alice segera mencari Nic begitu mobil Lucy meluncur pergi. Ia butuh informasi lebih banyak mengenai Lucy empat tahun terakhir. Kakinya melangkah menuju ruang informasi untuk mencari tahu dimana letak gedung olahraga, karena seingatnya Nic adalah salah satu anggota basket.

       Setelah berkeliling mencari gedungnya, akhirnya ia menemukannya. Sebuah pintu dalam keadaan terbuka dan terdengar suara decitan sepatu juga pantulan bola, Alice melangkah masuk. Ternyata Nic tidak berlatih sendirian, ada empat orang yang ikut bermain dengannya.

       Mengenali gadis cantik berdiri di pinggir lapangan, Nic menghentikan permainannya dan menghampiri Alice dengan sedikit berlari. "Lihat siapa yang berdiri disini, Sang Alice," seru Nic.

       Alice memutar kedua bola matanya, "Apa kau Mad Hatter?"

       "Ide bagus. Tapi ada yang janggal disini, Sang Alice justru berteman dengan Red Queen."

       "Kukira ia bukan Red Queen, melainkan Maleficent."

       Sebelah alis Nic terangkat, "Mari kita buat sebuah pertunjukan kalau begitu." Nic tertawa sedangkan Alice mengeluarkan sejumlah umpatan, kemudian ia mengingat tujuannya kemari.

       "Eum, Nic, aku ingin menanyakan sesuatu. Apakah kau ada waktu?"

       "Tergantung," Nic mengangkat kedua bahunya.

       Membaca raut wajah Nic membuat Alice mengerti apa yang diinginkannya. Nic bukan tipe orang yang membantu secara sukarela rupanya. "Apa yang kau inginkan?" hardik Alice.

       Nic menunjukkan senyum layaknya kucing Cheshire. Bunyi ponsel Alice menghentikan Nic untuk menjawab pertanyaannya. Saat melihat nama yang muncul di layar ponselnya, Alice menghela napas.

       "Ya, aku segera kesana," sahut Alice saat sudah menekan tombol jawab dan mematikannya saat itu juga. "Lain kali saja, bye." Alice berjalan meninggalkan Nic yang berdiri termangu menatap punggungnya.

       Ada apa dengan wanita itu, batin Nic.

       Sambil berjalan menuju gerbang sekolah, Alice membuat sebuah panggilan. Dalam dering ketiga, panggilan itu terjawab, "Ya?" sahut sebuah suara di seberang sana.

       "Hai Luc, seingatku, aku tidak meminta bantuanmu untuk memanggil Thomas." Thomas sudah berdiri di samping mobilnya dan siap membukakan pintu untuk sang majikan. Begitu Alice mendekat, Thomas segera membukakan pintu.

       "Benarkah? Kukira tadi kau meminta tolong padaku untuk menghubungi Thomas." Alice mendecak kesal ketika sudah berada dalam mobilnya. Ia tahu Lucy tidak bisa di bohongi, ia membaca gerak-gerik orang.

       "Kuharap kau tidak melakukannya lagi Luc," pinta Alice.

       "Mengapa?"

            "Setiap orang memiliki rahasia pribadi dan kuyakin kau pun begitu." Alice mematikan panggilannya dan menyandarkan kepalanya. Ia tahu kemungkinan Lucy akan merasa kesal padanya namun tidak akan sampai tahap marah.

***

Keesokan paginya, seperti biasa, Lucy selalu berangkat lebih dahulu ke sekolah. Saat berjalan melewati ruang makan, sebuah suara terdengar memanggilnya, "Mon cher * Lucy, kemari sebentar." Mendengar namanya di panggil, Lucy berjalan dan mengambil tempat duduk kosong di hadapan ibunya, "Ada apa?"

       "Kita mendapat sebuah undangan peresmian perusahaan baru milik Mr. Young. Mom ingin kita berdua menghadirinya. Bagaimana?"

       Lucy berpikir sambil menatap ibunya yang mengenakan kimono tidur. Jari-jarinya sangat gemulai dalam mengaduk minuman dan mengangkat cangkirnya. Setiap gerakan dari ibunya sangat anggun. "Baiklah. Sebaiknya mom membawa serta juga Daniel," jawab Lucy.

       Sebuah jawaban yang membuat senyum di wajah ibunya berkembang, "Ya, kau benar. Acaranya besok malam. Pastikan kau mengenakan pakaian terbaikmu, mon cher."

       Hanya sebuah anggukan sebagai jawaban dari Lucy sambil bangkit dari tempat duduknya dan melanjutkan langkahnya menuju mobilnya.

***

Berdiri di tengah keramaian jalan dengan perasaan bingung, itulah yang dirasakan Lucy saat ini. Ia melihat sekitar terdapat gedung-gedung pencakar langit dengan layar televisi besar di depannya. Bagaimana ia bisa berada disini? Bersama Alice kah? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya.

       Ia mulai berjalan sambil melihat sekelilingnya. Kemudian ia mendengar seseorang memanggilnya, "Lucy." Lucy tersentak. Perlahan ia menoleh dan melihat seseorang yang memanggilnya tadi berdiri tak jauh di depannya, seorang pria. Tubuh Lucu langsung bergetar, terguncang melihat kehadiran pria itu. Ia tidak pernah ingin bertemu lagi dengan pria itu, tidak dalam kondisi seperti ini. Perlahan ia mengarahkan kakinya untuk berjalan mundur tanpa melepas pandangannya pada pria itu.

       Pria itu tersenyum dan ikut berjalan maju. Lucy ingin sekali berteriak agar seluruh orang disekitarnya menjauhkan pria itu darinya, namun bibirnya terasa terkunci rapat. Satu-satunya jalan hanya berlari darinya. Dengan cepat ia berbalik dan membuat langkah selebar mungkin. Ia terus mengarahkan kakinya untuk terus berlari tanpa menoleh kembali ke belakang. Ia tahu pria itu juga ikut berlari mengejarnya. Ketakutan semakin merayapi pikirannya karena langkahnya terasa lambat. Lucy merasakan suara pria yang memanggil namanya semakin dekat. Detak jantungnya sudah tidak beraturan, keringat membanjiri tubuhnya, napasnya pun terengah-engah.

        Lucy terus menguatkan dirinya untuk berlari sampai kakinya tak sanggup lagi. Ia jatuh terjerembab. Kedua tangannya menopang tubuhnya agar wajahnya tidak membentur tanah. Saat melihat sekitar, ia tersadar, tidak ada siapapun. Sepi. Sepertinya ia salah mengambil jalan. Pria itu sudah berdiri di belakangnya, berjalan mendekat dengan perlahan.

       "Lucy, kemarilah. Jangan takut," ucap pria itu yang hampir menyerupai bisikan namun terdengar sangat jelas di telinga Lucy. Dengan tubuh bergetar hebat, Lucy menolehkan kepalanya melihat pria itu. Bibirnya tetap tidak dapat bergerak, sekuat tenaga Lucy menggelengkan kepalanya menandakan ia tidak ingin di dekati.

       Namun pria itu tidak menghiraukannya, ia berjalan semakin dekat hingga berdiri di hadapan Lucy. Pria itu lalu berjongkok dan tersenyum menyeramkan, "Jangan menangis sayang, aku tidak akan menyakitimu."


*Mon cher : sayangku.

Sesuai janji, aku update sebelum minggu depan karena vote sudah sampai 5.

Sama seperti chapter berikutnya, kalau sudah 5votes aku bakal update.

Btw, cerita ini mau kumasukan ke penerbit. Doakan diterima ya.

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu