SCENE TWENTY ONE

1.1K 114 1
                                    

        Enjoy Reading ~
~~

Beberapa jam yang lalu...

       Setelah kepergian Lucy dan Alice, ia masih terduduk di tempatnya menangisi gaun satu-satunya yang ia punya. Tangannya yang gemetar mencoba meraih gaun itu, dan mengecek apakah masih bisa diperbaiki atau tidak.

       Sambil mengusap kasar air matanya, ia meneliti kondisi gaunnya. Tangisnya kembali pecah saat ia sadar gaunnya sudah tidak bisa diperbaiki lagi. "Apakah salah jika aku hanya ingin pergi ke pesta dansa itu?" lirihnya. Tubuhnya berguncang hebat karena tangisnya. 

       Ia melempar gaunnya ke sembarang arah, frustasi karena ia sangat tertekan. Kedua tangannya menggenggam erat rambutnya. "Kenapa keadaan membuatku begini?!" teriaknya. Kembali ia raih gaunnya dan juga gunting, ia menggunting secara acak mengubah gaun itu menjadi serpihan kain.

       Suara ponsel menghentikan kegiatannya. Ternyata sebuah panggilan dari Leesa. Ia menjawab panggilan tersebut. "Cindy, dimana kau?" tanya Leesa dari seberang sana. Cindy tidak menjawab pertanyaannya dan terisak. "Hey, Ada apa?" Leesa mulai terdengar khawatir.

       "Mereka menemukan rencanaku dan merusak gaunku Lee. Aku tidak bisa pergi," Cindy menjelaskan di sela-sela tangisnya dengan suara serak. Menangis adalah kelemahannya. Setiap kali usai menangis, kedua matanya akan melebam dan suaranya langsung berubah serak.

       "Aku segera kesana, kau tunggu aku."

       Beberapa menit kemudian Leesa sudah sampai di rumah Cindy karena rumahnya memang tidak jauh, hanya beberapa blok. Segera Cindy memeluknya dan menumpahkan kembali tangisnya. "Kau tidak perlu bersedih, aku disini menjadi fairy godmother untukmu, kau sudah sepakat akan melawan mereka bukan?" tanya Leesa sambil menenangkan sahabatnya.

       Cindy mengangguk.

***

       

       Ia menelan ludahnya dan memutuskan untuk mengabaikan tatapan Lucy, ia terus berjalan maju. Musik kembali berputar, seluruh orang kembali berdansa dan tak lagi menatapnya. Saat ia melihat sebuah meja yang berisi minuman, Cindy segera berjalan kesana dengan cepat. Mencoba menutupi dirinya diantara kerumunan orang-orang. Tanpa sengaja dirinya menabrak seseorang.

       Ben yang baru saja berpikir ingin mencari sahabatnya tertabrak oleh seorang gadis. Ia terpana sesaat melihat gadis itu. Kedua orang ini saling tidak mengetahui satu sama lain. Namun bagi Ben, ada sesuatu yang lebih menarik untuknya. "Nice hairpin," puji Ben.

       Cindy menyentuh jepit rambut di kepalanya, lalu tersenyum malu.

       Sebuah senyum mengembang di bibir Ben membuat lesung pipi di kedua pipinya, "Akhirnya kita bertemu," gumamnya. Ia meneliti wajah gadis itu, mulai dari tatapan matanya, bentuk bibirnya, dan warna rambutnya. Ben ingin mengingat gadis ini secara mendetail, karena ia gadis yang selama sembilan tahun ini dicarinya. Seketika ia melupakan sosok Cindy Priceton.

       Sebuah uluran tangan bagi gadis itu sebagai tanda mengajaknya berdansa dari Ben dan disambutnya dengan sukacita. Mereka berjalan menuju lantai dansa.

       Cindy merasa gugup, ini pesta dansa pertamanya setelah selama ini. Mereka berdua berdansa dengan sangat indahnya membuat para pasangan lain menatap mereka. Selama dansa itu, Ben tidak mengeluarkan sepatah katapun, begitu juga Cindy. Keduanya ingin menikmati dansa mereka seolah itu adalah dansa terakhir.

       Lucy melihat hal itu dari atas, perasaan cemburu kembali mengisi hatinya. Hatinya serasa diremas, dengan keras Ia semakin penasaran pada sosok gadis bergaun merah muda itu. "Alice, cari tahu siapa gadis itu." Alice mengangguk dan langsung turun.

       Lucy masih memperhatikan pasangan itu dari atas dengan dingin. Setelah musik hampir berakhir ia berjalan turun. Saat Lucy hampir mencapai pasangan itu, mereka terlihat akan meninggalkan kerumunan. Hal itu membuat Lucy semakin mempercepat jalannya. Namun ia mengalami kesulitan karena postur badannya yang kecil terdorong oleh pasangan dansa lain yang sedang membubarkan diri.

       Setelah berhasil terbebas dari kerumunan itu, ia sudah kehilangan jejak mereka. "Sial!" umpat Lucy.

       Ben membawa pasangan dansanya keluar lewat pintu belakang. Mereka menuruni tangga dan mendapatkan kaca besar yang menampakan taman belakang sekolah. Cindy terpana pada pemandangan malam disini, sinar rembulan yang masuk menembus kaca tersebut membuat langkahnya terhenti. "Pemandangan yang bagus memang," sahut Ben.

       Cindy mengangguk setuju.

       Walaupun penampilan gadis itu tertutup topeng, namun ia bisa menebak bahwa gadis itu pasti tumbuh dengan cantik. Ben sudah tidak sabar ingin bercerita banyak hal dengannya.  "Apa kau ingat siapa aku?" Pertanyaan pria itu membuat Cindy memberi tatapan bingung pada Ben. "Aku, putra Elizabeth Bryant," pancing Ben lagi karena tidak mendapat respon darinya.

       Cindy tetap mengerutkan keningnya, Siapa Elizabeth Bryant?

       Merasa bingung kenapa gadis ini tidak mengingatnya, membuat Ben akhirnya memutuskan untuk memperkenalkan dirinya. "Namaku Benjamin Young."

       Cindy terkesiap. Tubuhnya membeku. Kedua matanya sukses membulat besar. Jantungnya tiba-tiba berdegub dengan kencang. Suasana pun menjadi sunyi dan sepertinya ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Ben menaiki anak tangga mendekati Cindy, "Boleh aku tahu siapa namamu kali ini?"

Oh tidak!

Dont Forget The Votes Button ❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Where stories live. Discover now