SCENE THIRTY FOUR

1.1K 115 4
                                    

        Enjoy reading~

Cindy mencoba mengusap air matanya tanpa sepengetahuan Ben. Ia tidak ingin Ben mengetahui kesedihannya. "Dari mana kau tahu ia saudara tiriku?"

       Ben terlihat bingung menjelaskannya karena sebenarnya ia hanya menarik kesimpulan dari kata-kata di kertas kuning itu. Namun tak disangka Cindy mengakuinya secara tidak langsung. Ternyata banyak hal yang belum diketahuinya tentang Lucy dan itu membuatnya tertarik karena ia adalah bagian dari masa lalunya. Ben terus menunggu gadis kecil itu menemuinya. Ia ingin mencari gadis itu, namun tidak ada bagian dari gadis itu yang tertinggal kecuali ingatannya. Bahkan namanya saja Ben tidak tahu.

       Belum sempat ia menjelaskan, Cindy menerima panggilan dari nomor tak dikenal. Ragu untuk menjawab, ia memilih mengabaikannya. Namun beberapa saat kemudian kembali berdering. Ia terpaksa mengangkat panggilan itu.

       Ben tidak tahu darimana asal panggilan itu, namun ia bisa menilai bahwa kabar yang diterima oleh Cindy bukanlah hal yang baik.

       Tangan Cindy bergetar hebat hingga jari-jarinya tak sanggup lagi menahan ponsel itu jatuh ke tanah. Tatapannya kosong. Matanya mengerjap beberapa kali membuat air matanya menetes satu per satu. Melihat Cindy begitu rapuh membuatnya menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Sentuhan lembut dari Ben membuat Cindy tak kuasa lagi menahan kesedihannya. Tangis memilukan pun langsung pecah. Cindy menangis tersedu-sedu keras di dadanya.

       Ketika tangisnya mereda, Cindy melepaskan diri dari pelukan Ben. "Bisakah bawa aku ke rumah sakit sekarang?" tanya Cindy masih di sela isaknya.

       Ben hanya terdiam tidak mengerti. Ini masih jam sekolah dan Cindy memintanya membawanya keluar sekarang. "Ada apa?" tanya ben kembali.

       "Aku mohon, bawa aku sekarang. Aku mo –"

       Melihat Cindy panik membuat Ben menangkup wajahnya untuk membuatnya tenang. "Hei, tenang dulu. Baiklah kita akan ke rumah sakit. Kau tunggu di gerbang dan aku akan pergi meminta ijin," jelas Ben.

       Cindy menangguk cepat.

       Ben segera berlari meninggalkan Cindy menghadap guru yang sedang bertugas menjaga. Ia tahu pasti ada sesuatu yang terjadi sehingga Cindy menjadi panik seperti itu. "Permisi Mrs. Lincoln. Namaku Benjamin Young ingin meminta ijinku untuk mengantar Cindy Priceton ke rumah sakit," ucapnya pada seorang wanita tua yang tak lain adalah guru sekolah ini.

       Mrs. Lincoln tidak banyak bicara. Tak perlu lama menunggu ia segera mengeluarkan sebuah surat ijin yang perlu Ben tanda tangani. Setelah itu Ben boleh meninggalkan sekolah. Perasaan bingung merayapi wajahnya. Mrs. Lincoln terlihat sangat percaya padanya, bahkan ia tidak menanyakan alasan apapun. Ini terlihat ganjil. "Maaf Mrs. Lincoln, kau tidak bertanya padaku untuk apa aku membawanya?"

       Mrs. Lincoln hanya menatap datar Ben. "Sebelum kau kemari nak, Lucinda Morgan sudah meminta ijin kalian padaku." Selesai menjelaskan, wanita itu menyibukkan diri dengan hal lain.

       Mendengar nama Lucy disebutkan, membuat Ben semakin mengerutkan keningnya. Mengapa gadis itu bisa tahu? tak mau waktunya terbuang sia-sia lagi, ia segera berlari menuju parkiran dan membawa mobilnya menjemput Cindy di gerbang.

       Selama perjalanan itu, Cindy hanya terdiam sambil terisak, membuat Ben melirik sesekali dengan iba. "Ayahku semakin parah," ucap Cindy tiba-tiba sambil menunduk. Ben tergelak, Ia tidak berani bertanya lebih lanjut. Sudah lama ia tahu bahwa Mr. Priceton mengalami koma.

       Cindy mengepalkan jari-jarinya dengan kuat membuat kulitnya terlihat memucat. Ia mengigit bibirnya menahan emosi yang bergejolak. Kali ini saudaranya sudah keterlaluan, ia tidak bisa lagi menahannya. "Baru saja pihak rumah sakit meneleponku mengatakan kondisi ayahku semakin lemah dan hampir tak tertolong," lirih Cindy.

       Beruntung mereka sedang berada dalam mobil dan keadaan sunyi sehingga Ben bisa mendengar dengan jelas perkataan Cindy yang terdengar seperti rintihan bisikan. Air mata gadis itu tidak berhenti mengalir, Ben mengerti rasanya takut kehilangan. Namun tak sebesar yang Cindy rasakan karena saat itu ia hanya berusia 9 tahun. "Tenanglah, pihak dokter pasti akan mengusahakan yang terbaik untuk ayahmu," hibur Ben.

       Cindy menggeleng pelan, hiburan itu tidak akan berguna untuknya karena ia tahu penyebab ayahnya seperti ini. "Lucy tidak akan membiarkan hal itu terjadi," mendadak suara Cindy terdengar dalam. Perubahan emosi mendadak pada Cindy membuat Ben menatap heran.

       "Lucy? Maksudmu?" tanya Ben.

       Cindy menatap Ben dibalik air matanya. "Jika aku memberitahumu apakah kau akan percaya padaku?"

      Ia ingin memastikan pria itu percaya padanya, jika tidak semuanya akan sia-sia saja.

Ben harus percaya padanya.

Dont forget the votes button ❤️❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Where stories live. Discover now