SCENE TWENTY TWO

1.5K 141 3
                                    

        Enjoy Reading ~
~~

       Cindy menggelengkan kepalanya cepat dan kaku, terlalu cepat hingga Ben mengerjap heran. Siapa yang menyangka dari sekian banyak pria di dalam, Ben-lah yang mengajaknya berdansa. "Bukankah tema pesta ini adalah menutup jati diri kita?" jawab Cindy gugup dengan suara seraknya. Ia tahu Ben tidak akan mengenali suaranya dan hanya itu alasan yang ia punya.

       Jawaban yang mengalir dari bibir gadis itu membuat Ben mendengus geli. Ia tertawa pendek, "Baiklah kalau itu maumu. Ngomong-ngomong, kau berdansa dengan sangat baik tadi. Aku sangat menikmatinya."

       "Terima kasih Mr. Young. Kau juga sangat hebat." Cindy bisa merasakan wajahnya memanas. Tidak sia-sia ia menyukai latihan dansa yang diajarkan ayahnya. 

       Ben menatap gadis itu lekat-lekat, "apa kau mengubah warna rambutmu?" Terakhir yang ia ingat, gadis itu seharusnya memiliki rambut berwarna cokelat.

       "Tidak," jawab Cindy. Sedari tadi dia tidak mengerti apa yang Ben katakan. Apa Ben memikirkan dia sebagai gadis lain?

       Tidak? Mungkin gadis ini tidak mengingat dengan baik, pikir Ben. "Kita pernah ..."

       Mendadak sebuah suara pintu gedung terbuka memotong perkataan Ben. "Kita harus kembali sekarang. Seseorang terlihat akan pulang lebih awal," seru gadis yang mengenakan gaun ungu setelah ia membuka pintu. Ia menekankan kata seseorang agar Cindy mengerti maksud kalimatnya.

       Cindy mengangguk pada Leesa. Sebenarnya ia merasa berat hati harus mengakhiri pertemuan ini, namun ia sudah cukup bersyukur bisa hadir. Kemudian ia berbalik menatap Ben, "terima kasih untuk malam yang menyenangkan ini." Dengan cepat ia mengecup pipi Ben lalu menaiki anak tangga dan masuk kedalam gedung.

       Sebuah kecupan membuatnya tercengang. Kemudian ia tersadar, ia bahkan belum mengetahui apapun mengenai gadis itu. Segera dirinya mengejar gadis itu ke dalam gedung. Ben mengangkat kepalanya setinggi mungkin, kemudian mendapati gadis bergaun merah muda sedang mecoba berlari menerobos kerumunan banyak orang.

       Pria itu mencoba mengejarnya, namun gadis itu ternyata sudah lumayan jauh. Saat berhasil keluar dari gedung itu, ia bisa melihat dengan jelas gadis itu berlari sambil di tarik oleh gadis lain bergaun ungu tadi. Mereka berlari seolah dikejar oleh seseorang. Ben memanggil gadis itu, "Hey!" teriaknya. Namun gadis itu hanya menoleh sesaat lalu melanjutkan pelariannya.

       Sial! umpat Ben. Jika tidak menggunakan sepatu ini, ia pasti bisa mengejar gadis itu. Kemudian dirinya tersadar bahwa kakinya menginjak sesuatu. Sebuah Hairpin. Ben melihat bagian dalam hairpin itu dan tersenyum senang. Hatinya berubah ringan dan melambung tinggi. Ini memang dia, gumam Ben dalam hati.

***

       

Lucy memasuki rumahnya dengan perasaan kesal. Ia tidak menemukan gadis itu dan Ben selama pesta tadi.

       Kemudian ia tertawa miris, hidupnya benar-benar menyerupai dongeng bodoh itu sekarang. Tiba-tiba terlintas satu pemikiran di kepalanya. "Dimana Cindy?" Lucy bertanya pada salah satu pelayan yang sedang berada di dekatnya tanpa menatapnya.

       Tidak mendengar satu suara yang keluar dari bibir pelayan itu membuat Lucy menolehkan kepalanya. Pelayan itu terlihat sedang menunduk. "Aku tanya sekali lagi, dimana Cindy?" Lucy memperdalam suaranya membuat pelayan itu semakin gemetar karena ketakutan.

       Lucy menangkap ada sesuatu yang aneh terjadi. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya menuju tempat selama ini Cindy bersembunyi. Ketika sampai di depan kamar, Lucy mendapatkan Cindy sedang berdiri di hadapannya dengan wajah yang kotor. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya sambil menatap jijik saudara tirinya itu.

       "Membersihkan taman belakang." Cindy berdoa dalam hati semoga Lucy tidak mengetahui bahwa ia berbohong.

            Namun semua daoanya sia-sia. Cindytetaplah Cindy, gadis polos yang tidak pandai berbohong. Lucy bisa membaca itusemua dengan cepat. Ia mengerutkan keningnya dan menatap tajam objeknya. Apamungkin gadis itu Cindy? Hanya ada satu cara memastikannya.

       "Jangan halangi aku," perintah Lucy.

       Cindy terkejut. "K-kau mau a-apa?" tanya Cindy gugup.

       "Kubilang jangan ... halangi ... aku," ulangnya dengan suara meninggi.

       Sinar ketakutan terlihat jelas di wajahnya. "Kamarku berantakan," jawab Cindy cepat.

       Tidak sabaran, Lucy segera menarik tangan Cindy agar menjauh dari pintu kamarnya. Namun Cindy berpegangan erat pada gagang pintu tersebut, membuat Lucy sedikit kesusahan menariknya. "Jika kau tidak menyembunyikan apapun, kenapa kau takut aku masuk?" desis Lucy.

       Cindy tidak bisa menjawab apapun. Ia fokus mempertahankan tangannya pada gagang pintu itu. Jika Lucy berhasil masuk, maka tamat riwayatnya. Tangannya yang berada pada gagang pintu sudah mulai terasa perih. Ia tidak yakin bisa bertahan lama jika Lucy tetap bersikeras menariknya. 

Tuhan bantu aku setidaknya satu kali ini saja.

Dont Forget The Votes Button ❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]On viuen les histories. Descobreix ara