SCENE THIRTY NINE

1.2K 117 0
                                    

        Enjoy Reading ~

Ben menghabiskan waktunya di lapangan bersama Nic. Keduanya saling melemparkan bola berbentuk oval oranye itu. Sesungguhnya Ben hanya ingin mengalihkan pikirannya dari Lucy. Namun nyatanya pikiran itu tidak bisa enyah begitu saja.

        Tak lama hujan pun turun deras membasahi seluruh lapangan dan kedua pria itu. Ben segera bangkit dari posisinya. "Aku harus pergi, terima kasih." Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu Nic. Lalu Ben berlari meninggalkannya.

       Ia segera bersiap dan tak lupa memesan bunga tanda berkabung. Setelah itu ia melajukan kendaraannya menuju rumah keluarga Priceton.

       Sesampainya di gerbang, penjaga membukakannya dan membiarkan Ben masuk. Pelayan menyambut kedatangannya. "Saya mewakili ayah saya, Alan Young, kemari karena ingin memberikan ini pada Mrs. Priceton," ucap Ben sambil menyodorkan sebuket bunga. Pelayan tersebut mengangguk tanda mengerti dan mempersilahkan Ben untuk duduk dan menunggu di ruang tamu.

       Dalam perjalanan menuju ruang tamu, Ben berpapasan dengan Lucy yang baru kembali dari taman belakang. Lucy tersentak. Ia sadar jika Ben sudah mengetahui status aslinya, namun ia masih belum terbiasa.

       Lucy memberi isyarat tangan pada pelayan yang mengantar untuk pergi meninggalkan mereka. "Sang pangeran datang untuk menghibur putrinya sepertinya," ucap Lucy sambil memberikan seringaian kecil.

Lucy terpaku mendengar satu kata yang keluar dari bibir Ben. Kemudian ia mengerutkan dahi. "Berhentilah," ulang Ben. "Berhenti menyiksa dirimu sendiri dengan membuat benteng setinggi mungkin."

Perkataan Ben membuat Lucy terhenyak. Ia membaca raut wajah Ben dan menangkap jika pria dihadapannya sudah mengetahui segalanya. Seketika hatinya menghangat dan matanya mulai memanas. Ia tidak menyangka reaksi Ben akan seperti ini saat mengetahui yang sebenarnya. Namun ia tahu bukan sekarang waktunya.

Begitu Ben membuat satu langkah mendekatinya, Lucy mengubah ekspresinya. "Berhenti menatapku seperti itu. Aku tidak ingin di kasihani siapapun. Lebih baik kau memberikan pada yang membutuhkan," tolak Lucy dingin.

Ben kecewa, Lucy masih keras kepala dengan pendiriannya. Tapi dalam hatinya ia tahu, butuh kesabaran lebih untuk mengembalikannya seperti semula. Saat Lucy berjalan melewatinya, ia menahan lengan gadis itu. "Kembalilah seperti gadis kecil yang dulu," bisiknya.

Lucy menghempaskan pegangannya lalu berjalan pergi tanpa mengucapkan apapun. Hatinya senang sekaligus lega. Ben sudah tahu bahwa ia adalah gadis kecil itu dan ia juga mengharapkannya kembali. Seulas senyum terbentuk sambil menitikkan setetes air mata. Ia harus mengakhiri semuanya. Orang pertama yang harus ditemuinya adalah ibunya.

Langkahnya terhenti begitu mendengar suara ibunya dari dalam kamar seperti sedang berbicara dengan orang lain. Ia bermaksud menundanya sampai ibunya selesai berbicara. "Selesaikan dengan segera seluruh surat – surat yang kuminta," perintah Elaine pada seseorang di balik ponselnya. "Begitu harta Charles sudah kualihkan, akan kutendang gadis sombong itu dari rumah ini," ucap Elaine pada dirinya sendiri, membuat Lucy tidak jadi melangkah masuk.

Lucy kembali mendengar suara ibunya dari balik pintu, "Aku bisa segera kembali pada Mike Morgan dan memberikan putriku ayah yang sesungguhnya. "

Matanya terbelalak. Lucy berdiri mematung. Ia tidak tahu apa lagi yang ibunya katakan setelah itu. Otaknya menjadi kosong. Mike Morgan? Tiba – tiba bagai sebuah lampu menyala, ia teringat akan berkas yang pernah ia temukan di ruang kerja ayah tirinya.

Dengan perlahan ia meninggalkan kamar ibunya dan meraih ponselnya. Ia perlu menghubungi seseorang. "Dimana berkas yang kuminta kau carikan?" tanyanya pada orang di seberang sana setelah panggilan itu terjawab.

"Aku sudah mengirim berkasnya ke rumah anda nona."

"Ke-Kerumah?"

Lucy memejamkan matanya dan menarik napas sedalam-dalamnya. Ini pasti ulah ibunya. "Segera kirim kembali melalui e-mail. Sekarang."

Tak butuh waktu lama, berkas sudah masuk dalam waktu 10 menit. Begitu pesan terbuka, kejutan lainnya menghampiri Lucy. Tubuhnya lemas tak berdaya. Pria yang selama ini tak pernah ada dalam hidupnya, tiba – tiba dikabarkan masih hidup dan sekarang menjadi pemilik perusahaan MGMorgan Chase and Co.

Dengan hati yang masih belum bisa percaya, ia mengambil kunci mobil dan segera keluar menuju mobilnya. Ben yang saat itu akan pulang, menatap Lucy bingung dari dalam mobilnya. Lucy terlihat terburu – buru mengendarai kendaraannya keluar.

"Ada apa dengan gadis itu? Mengapa kau selalu membuatku penasaran?" tanya Ben pada dirinya sendiri.

***

Lucy memberhentikan mobilnya tepat di depan gedung Morgan. Dengan detak jantung yang sudah berdetak tak karuan, ia memberanikan diri melangkah masuk menemui receptionist. "Selamat siang nona, ada yang bisa kami bantu?"

"Saya ingin bertemu dengan pimpinan kalian, Mr. Morgan," sahut Lucy dengan suara yang terdengar yakin.

"Maaf anda berasal dari mana? Apa sudah membuat janji sebelumnya?"

"Belum. Katakan saja saya Lucinda, putri Elaine Priceton."

"Maaf, jika belum membuat janji, anda tidak bisa menemuinya."

Lucy mengetukkan jarinya di atas meja receptionist tersebut. "Tolong, coba kau katakan dulu siapa aku padanya. Aku yakin Mr. Morgan akan mengijinkan aku masuk." Lucy tidak akan menyerah sebelum ia bisa bertemu dengan orang yang di sembunyikan ibunya.

Wanita yang bekerja sebagai receptionist itu pun akhirnya mencoba menelepon dan mengucapkan kata-kata yang Lucy tidak bisa dengar. Lima belas menit Lucy menunggu, akhirnya membuahkan hasil. Mr. Morgan memang mengijinkannya menemuinya. Dibantu oleh sekretarisnya, ia diantar menuju ruang pribadi pimpinan mereka.

Perasaan takut kembali menghampirinya setelah sekian lama menghilang. Rasa takut akan ditolak dan tidak dikenali.

Saat satu – satunya penghalang diantara mereka terbuka, keduanya menampilkan wajah yang amat terkejut.

Dont Forget The Votes Button ❤️❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Where stories live. Discover now