SCENE THIRTY FIVE

1.1K 122 5
                                    

Sedikit sedih liat sisa - sisa chapter tinggal dikit lagi buat di update. Tapi seneng liat ada orang-orang yang suka bacanya. Hehe
Monggo~
~~

Ia ingin memastikan pria itu percaya padanya, jika tidak semuanya akan sia-sia saja.

       Ben awalnya terlihat berpikir, namun selanjutnya ia mengangguk ragu.

       Cindy lalu mengumpulkan keberaniannya untuk mengeluarkan kata - kata yang sudah ada diujung bibirnya. "Dua minggu yang lalu, Lucy mengancamku perihal hairpin itu. Jika aku tidak bisa mengembalikan padanya dalam waktu dua minggu tanpa kau tahu siapa yang berdansa denganmu malam itu, maka ...." Cindy berhenti sesaat. Hatinya meragu. Benarkah apa yang dilakukannya ini?

       "Maka?" Ben masih menunggu.

       "Maka ... Maka ia akan ... membunuh ayahku," ucap Cindy terbata-bata dan diakhiri dengan tangisan yang kencang.

       Ben tersentak. Dalam hatinya bertanya, apakah mungkin seorang Lucy yang ia kenal dulu dan beberapa hari kemarin dapat membunuh seseorang? Ia memang tidak bisa percaya sepenuhnya pada perkataan Cindy. Terlalu sulit. Dan mengapa gadis itu tidak menginginkan aku mengetahuinya?Apakah ia menyukaiku?

       Cindy sendiri bisa menilai dari raut wajah yang dihasilkan Ben.

       Akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Segera Cindy berlari ke dalam meninggalkan Ben. Pria itu akhirnya menggunakan jasa parkir valet dan segera menyusul gadis itu. Cindy yang sudah mengetahui dimana ayahnya di rawat segera berlari menuju kesana. Saat ia membuka pintu, ia melihat Lucy sedang berdiri disamping tempat tidur ayahnya dan Alice dibelakangnya.

       Kemarahannya semakin meluap. Dengan cepat ia segera menerjang kearah Lucy, ia ingin mendorong tubuh gadis itu, namun segera di tahan oleh Alice yang saat itu menyadarinya. Sekuat tenaga Alice menahan tubuh gadis itu. "Kau kejam! Kau perempuan paling kejam yang pernah aku temui!!! Sedang apa kau disini?!?" Cindy berteriak histeris.

       Tak lama kemudian Ben datang dan masuk ke dalam ruangan. Ia bisa melihat situasi saat itu dan segera menarik tubuh Cindy sebelum ia melukai Alice. Cindy terus memberontak dan beteriak. "Apa salahku begitu besar padamu sampai kau menyakiti ayahku?!?"

       Alice ingin sekali membentak gadis itu, namun ia tahu Lucy tidak akan menyukainya. Pertanyaan terakhir dari Cindy membuat Alice tersenyum sinis.

       Lucy sedari tadi hanya terdiam menatap tubuh pria yang mulai mengurus di hadapannya. Wajahnya tampak tenang dengan berbagai alat pernapasan yang terpasang. Sempat terpikir bahwa pria ini tidak pantas mendapatkan ketenangan seperti ini sebelum Cindy masuk. Namun ia tahu, bukan dirinya yang berhak menentukan hukuman.

       Mendengar Cindy tidak berhenti histeris, Lucy akhirnya membalikkan badannya dan terkejut mendapatkan Ben juga berada disana. Memang ia sudah menduga bahwa Ben yang akan datang bersama Cindy, maka dari itu ia sudah meminta ijin kepada Mrs. Lincoln. Namun melihat dugaannya benar tetap menjadi kesakitan tersendiri bagi hatinya. "Lebih baik kau menutup mulutmu atau kau akan diusir," ucap Lucy tajam.

       Cindy menatapnya nanar, sedangkan Ben mengerjap. "Puas kau sekarang melihatku menderita? Inikan yang kau inginkan? Membunuh ayahku!" Cindy menatap tajam Lucy dengan matanya yang sudah memerah.

       "Awalnya aku memang berniat seperti itu, namun ternyata takdir sudah bekerja lebih dulu untukku," jawab Lucy tenang. Ia tahu jawaban itu pasti mengejutkan Ben. Dalam hatinya ia tidak ingin Ben mendengar jawabannya, namun ia tidak mungkin bersikap menyangkal di hadapan Cindy. "Lebih baik kita keluar, biarkan ia menikmati waktu terakhir bersama ayahnya," sahut Lucy pada Alice dan dijawab dengan anggukan.

       Saat mereka meninggalkan ruangan itu, mereka berpapasan dengan Dokter Clark dan suster-susternya. Dokter Clark menyapa Lucy, "Kami baru saja ingin menemui anda di ruangan. Bagaimana? Bisa dimulai sekarang?"

       "Lakukanlah dalam dua jam lagi. Siapa tahu ada keajaiban yang bisa terjadi dalam dua jam," ucap Lucy datar.

       Dokter Clark mengangguk. Ia sepenuhnya mengerti arti dibalik ucapan Lucy. Mereka pun berbalik meninggalkan kedua gadis itu. Dengan lemah Lucy duduk di kursi kosong lorong rumah sakit. Alice pun ikut duduk berseberangan dengannya. "Kau belum ingin bertanya?" tebak Lucy.

       Alice mengangguk tersenyum, "Sudah akan kulakukan. Namun aku menunggu kau menjelaskan."

       "Tidak ada alasan. Bagiku, selalu rasa benci yang ada setiap kali melihat wajahnya dan putrinya."

       "Lalu? Apa maksud semua ini? Memastikan ia benar-benar tidak hidup kembali?"

       "Mungkin," jawab Lucy acuh.

       "Aku tahu kau Lucy. Kau terlalu baik untuk menyakiti seseorang. Dan aku kesal karena gadis lemah itu hanya bisa menangis meraung-raung. Kau tahu, kalau kau membunuhnya, itu pantas didapatnya."

       "Aku pernah mencoba," ucap Lucy sambil tersenyum sinis pada perkataannya sendiri. "Dan kau tahu apa hasilnya. Terkadang aku merasa diriku sangat bodoh masih ingin memperdulikan pria-brengsek itu."

       Alice menatap sahabatnya iba, ia tahu gadis di hadapannya ini tak akan sanggup melakukan hal yang paling kejam itu. Jika selama ini Lucy menyiksa Cindy, itu karena seberkas rasa bencinya dan gadis itu pantas mendapatkannya. "Ya, tapi gadis itu lebih bodoh lagi karena tidak melakukan apapun untuk ayahnya sendiri. Bahkan ia tidak tahu bahwa selama ini kau yang meminta Dokter Clark untuk mempertahankan perawatan ayahnya. Jika tidak ayahnya sudah lama mati. Gadis bodoh itu hanya bisa menangis dan menuduh. Benar - benar tidak berguna."

       Lucy menyandarkan kepalanya ke dinding. Ia menarik napas sedalam-dalamnya. Seharusnya mendengar pria itu sudah berada di ambang batas hidupnya membuat dirinya senang. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Ia tidak merasa kehilangan, namun tidak juga merasa senang. "Dia memang tidak perlu tahu. Jika saja ayahnya dan ibuku tidak menikah, tentu hal ini tidak akan terjadi."

       Mungkin ia membantu pria itu setelah kondisinya seperti ini karena ibunya. Rasa kasihan untuk pria itu dan keluarganya karena menikah dengan seseorang seperti ibunya yang membuatnya memilih untuk tidak langsung membunuh. Bagaimana pun ia kini sudah terbaring tak berdaya di sana, mungkin itu balasan setimpal.

       Kemudian Lucy mendapat panggilan dari ibunya karena sebelumnya ia memang meninggalkan pesan tentang kondisi Charles. Saat Lucy pergi menjawab panggilan itu, Ben berjalan mendekati Alice.

        "Apa yang kudengar semuanya benar?"


Dont Forget The Votes Button ❤️❤️

R.V

[TFS-1] Stepsister Story [END]Место, где живут истории. Откройте их для себя