Rahasia Tetap Rahasia

Mulai dari awal
                                    

"Berjanjilah pada ku Mar, kau tetap akan menjaga rahasia ini". Lanjut Bara yang mendapat anggukkan pelan dari Marisa.

Hampir seminggu Bara di rawat di rumah sakit, kondisinya pun semakin membaik walaupun masih terlihat sangat pucat di wajah tampannya.

Bara sudah di perbolehkan pulang, Bara mengemudikan sendiri mobilnya yang tinggal di kantor Lila.

"Hay mam.....". Sapa Bara pada wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi ruang tamu.

"Bara......". Seru Andin lalu memeluk Bara.

"Kemana saja kamu nak... Kenapa ponsel mu mati? Kau tau mami sangat mengkhawatirkan mu". Omel Andin menatap lekat wajah tampan putranya.

"Maaf mam... Seminggu ini aku ke USA, mendadak ada keperluan mendesak yang tak bisa aku tinggalkan dan harus aku selesaikan. Jadi maaf ya aku tak memberi kabar dan berpamitan pada mami". Jawab Bara berbohong pada Andin.

"Kenapa wajah mu terlihat pucat Bar? Apa kau sakit?". Tanya Andin saat meneliti dan mengusap wajah Bara dengan tatapan khawatir.

"Oh ya... Ahh... Mungkin karna aku kurang istirahat saja mam... Mami tau sendiri aku mengurus dua perusahaan besar". Elaknya di iringi nada angkuhnya yang membuat Andin tersenyum dan mengusap kepala Bara.

"Dasar...! Jangan terlalu memforsir tenaga mu nak. Kau kan sudah memperkerjakan orang-orang hebat di USA, jadi kau harus istirahat dan jangan terlalu lelah". Ucap Andin menggenggam tangan Bara.

"Iya mam... Iya... Tenang saja... Aku ingin mandi dulu ya mam... Lelah sekali rasanya". Pamit Bara lalu mengecup kening Andin dan berlalu menuju kamarnya.

Bara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur nyamannya, matanya menatap langit-langit kamarnya dan membayangkan bagaimana keindahan mata Lila, senyum Lila, wajah cantiknya, bibir tipisnya yang selalu bisa menggoda Bara untuk mengecupnya. Terasa sesak dada Bara ketika bayangan Lila yang raganya entah dimana selalu datang membuatnya semakin rindu akan sosok gadisnya.

"Aku masih meyakini cinta kita akan membawa mu kembali pada ku sweet, tetap tunggulah aku sampai aku bisa menemukan mu dan mendekap mu lagi". Gumam Bara dalam terawangannya.

"Hey bung!". Seru Bram seraya membuka pintu kamar Bara membuat Bara kembali pada kesadarannya.

"Hey Bram...". Sapa Bara terduduk di atas tempat tidurnya.

"Kau kemana saja seminggu ini?! Kami menghawatirkan mu kau tau!". Ucap Bram seraya merebahkan tubuhnya di sisi Bara.

"Aku ke USA, ada pekerjaan yang harus ku selesaikan". Dusta Bara sekali lagi.
Bram hanya berohria menanggapi ucapan Bara.

"Apa kau sudah mendapat kabar tentang Lila?". Tanya Bram hati-hati. Bara hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaan Bram.

"Jangan menyerah Bar, aku yakin kau pasti bisa menemukannya". Ucap Bram menatap lekat mata Bara.

"Ya... Aku tak akan menyerah Bram". Desisi Bar lirih dan berusaha tersenyum.

"Eum... Maafkan aku Bar". Ucap Bram lirih yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk.

"Maaf? Untuk apa?". Tanya Bara menatap Bram bingung.

"Aku telah membuat cinta mu pergi. Kau kehilangan cinta mu karena aku. Maafkan aku Bar". Ucap Bram lesu dan menatap Bara di sampingnya.

"Kau tak perlu minta maaf Bram, aku saja yang bodoh tak bisa menghargai dan membalas cinta Lila untukku. Aku yang bodoh telah menyianyiakannya". Ucap Bara tertunduk lesu.

"Seharusnya aku lah yang mebyadari dari awal bahwa Lila tak mencintai ku, dan Marisa lah yang mencintai ku. Mungkin jika aku tidak sebodoh ini kepergian Lila tak akan terjadi". Ucap Bram penuh sesal.
Bara menepuk bahu Bram pelan sambil berkata.

"Kita tak perlu menyalahkan diri sepertinya. Secara kita memang sama-sama bodoh". Ucap Bara dengan nada bercanda mencoba untuk mengalihkan kesedihan dan rasa bersalah Bram. Seraya Bram pun tersenyum menatap Bara.

"Aku tak tau apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahan ku pada Lila. Tapi aku memang tak akan menyerah dengan keadaan ini". Gumam Bara dalam hati.

"Oh ya Bar, apa kau keberatan jika aku menikahi Marisa?". Tanya Bram ragu-ragu.

Bara langsung menoleh ke arah Bram dan mengkerutkan keninganya, kaget dan bingung atas ucapan Bram.

"Ya... Aku hanya berfikir kau kan sedang masa pencarian Lila, sedang dalam kesedihan. Apakah tak apa jika aku menikahi Marisa dengan keadaan mu yang masih sedih begini?". Lanjut Bram menjawab kebingungan Bara.

"Tentu tak apa Bram... Sungguh... Aku justru sangat senang jika kau akan menikahi Marisa, artinya memang tak salah aku melepaskan Marisa untuk mu karena aku yakin kau pasti bisa membahagiakannya". Ucap Bara antusias tak ingin Bram ragu akan niatannya.

"Kau... Sungguh tak akan merasa semakin sedih?". Tanya Bram lagi masih belum yakin.

"Aku baik-baik saja. Mana mungkin aku akan sedih karena kebahagiaan kembaran ku? Aneh sekali kau ini". Ucap Bara di iringi tawa renyahnya.

"Nikahilah Marisa, aku mendukung dan akan turut bahagia... Laksanakan niatan mu Bram". Lanjut Bara seraya menepuk bahu Bram.
Senyum mengembang di bibir Bram dan memeluk Bara.

"Terimakasih Bar... Terimakasih banyak". Ucap Bram dalam dekapan Bara.

Dua Jantung Satu Janji CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang