Rahasia Tetap Rahasia

559 16 2
                                    

Mata Bara perlahan terbuka menyesuaikan sinar sorot lampu yang menerangi ruangan, indra penciumannya menangkap bau yang tak asing, bau obat, bau rumah sakit yang sangat mengusik penciumannya.

"Kau sudah bangun tuan es?". Tanya suara lembut yang tak asing bagi Bara. Ia sangat mengenali suara tersebut dan sangat merasa akrab dengan panggilan itu.

Mata Bara terbuka sempurnya dan orang yang pertama ketika ia membuka mata adalah Marisa yang terlihat cantik dengan jas dokter yang ia kenakan. Tersungging senyum tipis di bibir Bara melihat Marisa yang menggenggam tangannya.

"Ada di mana aku Mar?". Ucap Bara lirih bahkan nyaris seperti berbisik.

"Kau sudah terlalu lama tidur di rumah sakit ku. Apa rumah mu sudah tak nyaman lagi untuk kau tinggali lagi tuan es?". Cibir Marisa yang tak bisa menutupi kebahagiaannya melihat Bara kembali membuka matanya.
Namun Bara hanya memberikan senyuman manisnya untuk Marisa.

"Tunggulah sebentar, aku akan menelfon papi dan mami mu". Ucap Marisa seraya hendak pergi meninggalkan Bara, namun dengan sigap Bara menahan tangan Marisa.

"Kau tak akan mengatakan tentang kondisi ku pada papi dan mami ataupun Bram kan Mar?". Tanya Bara lirih dan menatap lekat mata Marisa.

"Belum... Tapi akan". Ucap Marisa lembut namun tegas.

"Jangan Mar, aku mohon jangan". Pinta Bara masih dengan nada lirihnya.

"Kenapa? Mereka harus tau kondisi mu, pasien seperti mu harus mendapat dukungan dan dorongan dari orang-orang di sekeliling mu Bar". Ucap Marisa mulai berkaca-kaca mata indahnya.

"Aku mohon Mar, jangan kau buat mereka sedih karena kondisi ku". Ucap Bara lagi dengan tangan yang masih menggenggam tangan Marisa.

"Baiklah... Aku tak akan memberitaukan kepada orang tua mu, tapi kau harus mau untuk oprasi". Ucap Marisa memberi tawaran.

"Cih! Kau memang pandai memanfaatkan situasi". Dengus Bara dengan senyum manisnya.

"Terserah! Jadi bagaimana?". Tanya Marisa acuh.

"Aku tetap pada keputusan ku, aku tak akan mau berobat apa lagi oprasi jika Lila belum ku temukan. Jika kau masih tetap keukuh ingin memberitahukan orang tua ku, terserah... Tapi aku jamin setelah itu kau tak akan pernah bisa bertemu dengan ku lagi". Jawab Bara tegas dan tak terbantahkan. Marisa seketika terduduk di kursi sebelah brankar yang di tiduri Bara dan menatap Bara dengan tatapan sendunya.

"Pahamilah Bar, aku sungguh menghawatirkan mu, aku.... Tak mau kehilangan mu. Aku yakin mereka semua pasti merasakan hal yang sama dengan ku, aku sangat mendukung mu soal pencarian mu akan keberadaan Lila. Tapi kau harus tetap memikirkan kondisi mu, jangan mempersulit diri sendiri Bar. Aku mohon berobatlah, aku janji akan melakukan yang terbaik untuk menangani penyakit mu". Tersungging senyum pada bibir Bara mendengar penuturan Marisa yang di iringi dengan tangis dan genggaman erat dari tangannya.

"Aku hargai rasa khawatirmu Mar, terimakasih juga atas usaha mu membujukku. Tapi aku tetap pada pendirian ku... Dari awal kau tau apa alasan ku menyembunyikan ini, aku tak mau ada air mata yang tumpah hanya untukku. Aku pun tak mau terlihat lemah karena penyakit ini, aku ingin di perlakukan layaknya orang sehat Mar... Hargailah keputusan ku, aku tak akan pergi dari mu sebelum aku benar-benar memastikan sendiri bahwa kau bahagia dengan Bram". Tutur Bara dengan terus menatap lekat Marisa dan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Alhasil Marisa semakin terisak mendengar ucapan Bara dan sekejam itu pula ia memeluk Bara dengan terus menangis.

"Hey.. Dokter sok pintar... Aku belum mati... Jangan kau tangisi aku seakan aku sudah mati". Cibir Bara menggoda Marisa membuat Marisa melepas pelukannya dan menghapus air matanya.

Dua Jantung Satu Janji CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang