[41]

47 11 6
                                    

Alice mengatakan bahwa dia akan mati. Tetapi, Dokter Alferd hanya memandangnya. Aku benar-benar marah akan hal ini. Harusnya, dia—seorang dokter—mampu melakukan sesuatu. Tetapi dia hanya berdiri. Dia sesekali menggigiti bibir bawahnya, sesekali pula menelan salivanya. Alice tahu—dalam lubuk hatinya terdalam—dia tidak pernah ingin melihat pemandangan mengenaskan itu. Darah yang mulai mengalir dengan deras, membasahi ubin kamar-mandi yang awalnya putih bersih. Suara hujan yang bersatu-padu dengan tangisan dan teriakan Alice. Aku tidak pernah tahu bertapa memilukannya keadaan itu. Yang Alice tahu, dia akan mati di sana.

Di tengah-tengah rasa sakitnya, Alice dapat melihat dan mendengar dengan samar. Ternyata, di vila itu tidak hanya ada dia dan Dokter Alferd seorang saja. Tetapi, juga ada Nyonya Vivian. Nyonya Vivian muncul di belakang Dokter Alferd. Dia juga memandangi Alice dalam beberapa detik.

"Ayo kita pergi dari sini," kata Nyonya Vivian. Alice dapat mendengarnya dengan samar.

"Dia akan mati," bisik Dokter Alferd.

"Itu tidak akan."

"Tidak akan bagaimana? Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Nyonya Vivian berjongkok. Dia mendekat ke arah Alice dan memegangi punggung gadis itu. "Kau pergi saja. Akan kuurus. Dia tidak akan mati semudah itu."

Di saat yang bersamaan, entah bagaimana Hardin dapat ada di sana. Dia melihat mobil Dokter Alferd di halaman—karena pagar terali besi bercelah dan dapat menampakkannya. Selain itu, juga ada mobil lain yang mereka yakini milik Nyonya Vivian. Dia serta supirnya segera memasuki pagar yang tidak terkunci itu.

Ngomong-ngomong, aku sendiri tidak tahu bagaimana logika Hardin atau supirnya itu begitu kuat. Alice juga tidak tahu. Tetapi, beberapa saat setelah kejadian itu, dalam suatu kesempatan Hardin mengatakan pada Alice bahwa dia mengikuti Alice karena melihat Alice pergi bersama Dokter Alferd dari mansion. Kecepatan mobil mereka di atas rata-rata. Mobil Hardin tertinggal. Apalagi, secara tiba-tiba ada truk yang terkilir jalanan yang licin. Tetapi, Hardin tidak menyerah begitu saja. Dia menghubungi Ilya dan Ilya menyuruhnya untuk terus mencari Alice karena berfirasat ada yang tidak beres.

Setelah truk itu menyingkir, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Supir Hardin menelaah jalanan. Tetapi pada akhirnya, ada sebuah logika. Beberapa jam yang lalu; terakhir kali mereka melihat mobil sedan Dokter Alferd, mobil itu menuju ke arah kiri jalan utama. Tidak ada apa pun di sana kecuali garis pinggir pantai dan kemudian terhubung ke kota lain. Lantas, mereka ingat kalau Dokter Alferd—atau mungkin keluarga Mitchell—memiliki vila di tepi pantai. Akankah mereka ke sana? Tidak ada tempat lain dan itu masuk akal juga. Jadi, mereka juga berusaha mencari di sana. Dan kemudian mereka benar-benar mendapatkannya.

Pintu depan memang tidak terkunci. Dokter Alferd telah menimbang-nimbang bahwa Alice tidak akan lari karena tidak bisa. Dan Nyonya Vivian juga akan datang. Hal itu membuat Hardin dan supirnya dapat masuk dengan mudah.

Mereka mencari ke dalam. Lantas menemukan keributan itu di kamar mandi. Dari depan pintu pun, mereka telah dapat melihat Alice yang tengah meringkuk sekarat di lantai dengan darah di mana-mana. Nyonya Vivian memegangi tubuh gadis itu sementara Dokter Alferd berdiri begitu saja seperti patung dungu.

"Astaga!" Hardin memekik.

Pekikan itu membangunkan kesadaran semuanya. Pemuda itu langsung berlari menuju ke arah Alice. Dia merenggut tubuh Alice dari Nyonya Vivian. Tanpa dijelaskan sekali pun, Hardin tahu apa yang terjadi. Darah di mana-mana mengalir dari paha.

Nyonya Vivian pun berdiri di samping Dokter Alferd. Dia pun menelan salivanya. Gawat! Aksi bejat mereka ketahuan. Mereka tidak tahu harus berbuat apa sekarang.

The KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang