[12]

49 29 0
                                    

Danya meletakkan belanjaannya di dapur. Sedangkan Nada duduk di ruang tengah. Dia mengamati coretan-coretan di dinding yang sudah dihapus.

Beberapa saat kemudian, suara kendaraan lain terdengar. Setelah itu, tanpa permisi seseorang dengan hoodie hitam masuk ke dalam rumah Danya. Itu adalah Arman—serta informasi yang akan dia sampaikan.

"Aku mendapatkan hal yang sangat menarik!" kata Arman tanpa basa-basi.

Mendengar itu, Danya yang masih di dapur segera datang. Dia membawa beberapa camilan dan kopi di dalam gelas. Arman—yang kelaparan—langsung memungut camilan dari tepung itu. "Aku akan lebih banyak di sini sekarang." Dia tertawa. "Berteman dengan Danya sangatlah menyenangkan."

"Karena... aku memberimu makanan gratis?" Danya duduk di sofa yang lainnya.

Arman tidak menjawab. Dia terus mengunyah.

"Informasi apa itu? Katakan!" tandas Nada.

Arman berhenti makan. Dia menelan salivanya. Tatapannya terarahkan pada Danya dan Nada secara bergantian. "Ini tentang Ilya Zachary."

Keduanya menyimak.

"Selama ini, kita menyangka kalau Ilya pergi kuliah ke luar negeri bersama saudari kembarnya—Liliya, bukan?" Arman terlihat serius. "Itu salah!"

"Salah bagaimana?" tanya Danya.

"Kurasa, Ilya adalah anak yang rumit. Pertama, dia mendapatkan universitas yang elit nan bergengsi di sini. Setelah satu semester, dia malah pergi ke luar negeri dan pindah ke sana. Kemudian, dia cuti setelah beberapa semester sampai sekarang. Atau mungkin keluar dan tidak melanjutkannya lagi," kata Arman.

"Kenapa begitu?"

Arman mengembuskan napas panjang. "Dia sedang sakit."

"Sakit?" Danya dan Nada memastikan secara bersamaan.

"Tumor jantung." Arman menelan salivanya.

"Yang benar? Dari mana kau tahu ini?" Nada menyipitkan pandangannya—seolah tidak percaya atas apa yang dikatakan Arman.

Arman berdecak sebal. "Untuk apa aku berbohong? Aku mendapatkan informasi ini dari Ilya sendiri."

"Tunggu, tunggu, kau menginterogasinya?" Danya bertanya.

"Pendekatan pribadi," balas Arman. "Aku berlalu-lalang hampir sepanjang waktu di mansion Tuan Yuzak. Di sana ada Ilya juga. Aku mendekatinya secara diam-diam. Dia bukan orang yang sombong. Tetapi, cenderung pendiam."

"Kau mendapatkan informasi ini dari Ilya sendiri. Bagaimana jika dia berbohong?" tanya Nada.

"Sepertinya seseorang tidak akan berbohong atas masalah se-mengerikan ini. Lagi-pula, untuk apa dia berbohong?" Danya mengemukakan pendapatnya.

"Yeah, itulah yang kupikirkan." Arman manggut-manggut. "Awalnya, aku bertanya padanya apakah dia tahu sebuah petunjuk yang mungkin mengarah ke pelakunya. Dia bilang tidak. Dan aku bertanya bahwa dia sangat beruntung karena dapat berkuliah di luar negeri dan masa depannya telah ditata dengan baik." Arman berhenti berbicara sejenak.

"Lalu?" Danya dan Nada penasaran.

"Dia mengatakan tidak demikian. Dia mengatakan bahwa dia tidak sedang menempuh pendidikannya saat ini. Mungkin dia akan berhenti—tetapi dia belum memutuskannya. Ketika aku bertanya kenapa, dia bilang dia malas dan fisiknya tidak kuat. Dan aku bertanya kenapa lagi, dia mengatakan bahwa dia memiliki tumor jantung dan itu sulit untuk disembuhkan."

"Sulit?" Danya menyeringai. "Kupikir orang kaya memiliki banyak uang dan dapat membeli segalanya dengan mudah—termasuk nyawa."

Arman mengangkat bahu. "Dia mengatakan bahwa itu sesungguhnya adalah tumor yang rumit. Tumor itu mengenai dinding jantung secara luas. Dia mengatakan bahwa pembedahan sulit—atau mungkin tidak dapat. Dokter telah menelaahnya. Pembedahan sulit untuk dilakukan karena faktor risiko. Jaringan jantung perlu direkonstruksi atau semacamnya. Transplantasi masih dipertimbangkan. Aku tidak tahu penjelasannya karena itu rumit dan bukan ranahku. Mereka memilih alternatif lain seperti pengobatan dan radioterapi. Hanya saja, Ilya merasa bahwa itu tidak ada gunanya. Dia tidak semangat hidup lagi. Dia hanya menghabiskan waktunya untuk menulis."

The KillerDove le storie prendono vita. Scoprilo ora