[2]

105 37 3
                                    

"Ibuku dibunuh empat tahun lalu di rumah kami sendiri. Desas-desusnya adalah perampokan karena beberapa uang dan perhiasan hilang. Tetapi, perampok gila mana yang merampok kediaman seorang kepala kepolisian? Semua orang tahu bahwa rumah itu adalah rumah Ramon Hayes—kepala kepolisian. Bukankah sudah jelas bahwa tujuan perampok itu ingin mempermalukan ayah? Dan ayah sendiri tidak pernah bisa mengungkapkan pembunuhan istrinya. Dia memang pecundang."

Nada menceritakan sedikit tentang kisahnya kepada Danya di ruang UKS.

UKS kosong jam itu. Pengurus UKS pergi entah ke mana. Jadi, Danya-lah yang membantu Nada untuk mengobati luka di kakinya. Dan Nada tidak mempermasalahkan bahwa Danya adalah seorang lelaki. Dia membersihkan luka Nada dengan antiseptik dan mengusapnya dengan obat merah. Sementara Nada hanya duduk di kursi sembari meletakkan kakinya di meja dan Danya duduk di meja itu sembari menempelkan perban di luka Nada.

Pemuda itu hanya mendengarkan gumaman Nada.

"Aku ingin membuktikan pada ayahku bahwa dia benar-benar tidak berguna," sambung Nada. "Aku akan mengungkapkan kasusku sendiri. Dan kau tahu, Danya, rencanaku setelah lulus ini, aku akan masuk jurusan kriminilogi. Lihat saja, aku akan lebih berguna dari ayahku yang dungu."

Danya tersenyum. Dia meletakkan perban yang tersisa di kotak P3K. "Jadi, apa yang akan kaulakukan?"

"Sama seperti atas saranmu tadi, aku akan mencari-tahu apa kesalahan Dokter Alferd. Dengan begitu, aku akan tahu siapa pelakunya dan menyeret orang itu ke meja pengadilan," kata Nada.

"Itu tidak semudah yang kaubayangkan, Nada," balas Danya. "Sebaiknya—"

"Sebaiknya apa? Kau ingin mengatakan bahwa aku tidak perlu berbuat begitu?"

Danya manggut-manggut. "Tetapi terserah dirimu saja. Aku tidak memiliki hak untuk melarangmu. Karena desas-desusnya, kau suka mengamuk." Danya terkekeh.

Nada mengembuskan napas kasar.

"Tetapi, jika kau membutuhkan bantuan, kau bisa memanggilku. Kau tahu, terkadang aku tahu banyak hal." Danya kembali tersenyum. Dia mengedipkan sebelah matanya. "Aku juga suka permainan detektif dan pemecah kasus. Aku menyukai Sherlock Holmes, Hercule Poirot, Auguste Dupin dan rekan-rekannya. Permainan detektif-detektifan memang seru."

Dalam suasana yang hening itu, tiba-tiba pintu UKS terbuka. Sosok gadis dengan rambut panjang membuka pintu itu dengan kasar. Dia membelalak ketika melihat Nada berduaan bersama Danya di dalam sana.

"Apa yang kalian lakukan di sini?! Kalian berduaan! Dasar mesum!" pekiknya.

Gadis-gadis yang lain pun datang.

Danya berdiri. "Nada terluka. Aku hanya membantu mengobati lukanya."

"Dia bisa melakukannya sendiri! Kenapa... kau melakukannya?" Gadis itu mendekat ke arah Danya.

Danya menatapnya. Tetapi kini, manik biru itu tidak seramah biasanya. Dia menatap dengan datar. "Memangnya kenapa?"

Gadis itu menelan salivanya dan meringis. Dia adalah Olivia Castaneda. Dia adalah satu-satunya—dari puluhan gadis yang jatuh cinta pada Danya—yang berani mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan pada Danya.

Beberapa bulan lalu, Olivia menyatakan perasaannya pada Danya di hadapan umum. Dia berharap, Danya tidak memiliki alasan untuk menolaknya karena itu. Tetapi, Danya enggan. Dia mengatakan bahwa dia dia tidak bisa jatuh cinta pada Olivia dan mereka lebih baik menjadi teman saja. Hanya saja, Olivia mengatakan bahwa dia akan mengejar Danya bahkan sampai mati sekali pun.

Danya awalnya biasa saja akan sikap Olivia. Jatuh cinta bukanlah sebuah kesalahan. Tetapi, memaksa orang lain untuk menerima cinta itu adalah kesalahan. Dan Olivia melakukannya. Dia selalu memaksa Danya di mana pun dia melihat Danya. Hal itu membuat Danya lama-lama menjadi risih dan semua orang tahu itu. Dikejar-kejar gadis trouble-maker sekaligus tukang bully di sekolahan bukanlah hal yang menyenangkan. Semua orang kasihan pada Danya. Termasuk Nada.

The KillerWhere stories live. Discover now