[44]

63 14 8
                                    

Daniel Ruth memandangi salinan surat Sang Pembunuh yang telah dia salin di komputer laboratorium. Dia kembali membaca dengan seksama dan berusaha menemukan kejanggalan yang mungkin dapat menunjuk ke arah Sang Pelaku. Tetapi, dia tidak menemukan apa pun. Kesimpulannya tetap sama. Ada dua kemungkinan; Sang Pembunuh belum ada—atau mungkin tidak ada—di cerita itu karena tidak satu pun karakter yang diganti dengan kata "aku". Kedua, dia sudah ada, tetapi menutupi identitasnya sendiri.

Pemuda itu menggigiti bibirnya. Semuanya tampak rumit. Sang Pembunuh dapat dipastikan sangat dekat dengan Sofiya dan kemungkinan besar adalah kekasih hatinya atau tunangannya. Tetapi, mengapa sangat sulit menemukan orang ini? Sofiya begitu misterius. Bagi Danya, pesona perempuan muda itu begitu terasa. Dan bahkan jika tidak ada kasus itu—Danya pernah mengatakan pada Arman—bahwa mungkin dia juga akan terpukau.

Danya kembali membuka foto-foto Sofiya.

"Rambut bergelombang yang misterius. Begitu monokrom. Saat melihatnya, dia seolah memiliki aura yang kelam. Tetapi, kekelaman itu merupakan daya tariknya. Daya tarik yang menghipnotis semua orang. Tidak dapat dipungkiri, semua orang ingin mendapatkannya. Ilya, Hardin, Dokter Alferd." Dia bergumam sendiri.

Danya menatap netra Sofiya yang sayu. Tampak lelah dan berkantung. Mewakili kekelaman. Tetapi, itu seolah dapat menghipnotis dirinya dan membuatnya tenggelam.

Dia tenggelam. Tenggelam sampai tidak menyadari bahwa ada seseorang yang membuka pintu laboratorium komputer tempatnya saat ini. Gadis itu berjalan ke arahnya dan mendekatinya. Dia pun menatap apa yang Danya tatap di layar monitor komputer.

"Bukankah dia pemain violin?" Suara itu membangunkan Danya dari lamunannya.

Pemuda itu pun menoleh. Dia mendapati Olivia berdiri di belakangnya dengan sebuah senyuman miring. Danya hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia mengangguk mengiakan apa yang menjadi pertanyaan Olivia tadi.

"Mengapa kau menatapnya begitu? Apa kau mengenalinya?" tanya Olivia.

Danya menggeleng. "Tidak."

"Lantas?"

"Dia hanya menarik untuk ditelaah."

Olivia manggut-manggut. Dia tidak ingin berbasa-basi lagi. Dia segera mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. "Aku ingin meminta maaf kepadamu."

"Untuk apa?" tanya Danya keheranan.

"Selama ini sikapku buruk sekali padamu. Beberapa kali pula aku menempatkanmu dalam masalah. Dan mungkin, kau menganggapku sebagai gadis yang menjijikkan."

"Itu benar."

"Jadi, Daniel, maukah kau memaafkanku? Sebentar lagi aku akan ujian dan tentunya lulus. Lantas enyah dari sini dan mungkin dari kehidupanmu pula. Rasanya menyedihkan jika terus-terusan bermusuhan denganmu sampai akhir."

"Lalu dengan Nada? Kau tidak ingin meminta maaf pula?"

"Akan kulakukan nanti."

Danya kembali manggut-manggut.

"Ngomong-ngomong soal Nada, apakah kau benar... kekasihnya? Maaf aku menanyakan ini. Kalian sama sekali tidak romantis. Kalian hanya pergi bersama sepanjang waktu."

"Tidak."

"Kau bukan kekasihnya?"

"Ya."

"Lantas mengapa kau menyetujui apabila kau memiliki hubungan spesial dengannya?"

"Untuk menghindarimu—dan yang lainnya."

Bajingan, Daniel Ruth. Olivia mencoba tersenyum mendengar jawaban itu. Dia tahu maksudnya. Danya pura-pura dekat dengan Nada supaya orang mengira bahwa dia sudah memiliki kekasih dan mereka tidak akan mengejar-ngejarnya lagi.

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang