9 | Penyesalan Rio

Start from the beginning
                                    

Senyum Nata tertarik. Dari sorot matanya, Nata seolah bisa melihat ada luka yang baru saja sembuh, ketulusan dari perkataan Rio barusan. Tidak ada hal yang lebih membuat kita merasa lebih tenang daripada saling memaafkan, kan?

"Gue udah maafin lo."

Jadi Nata memilih kedamaian.

Rio menatap Nata tidak percaya. Padahal dia belum menyiapkan kata-kata yang pas agar mendapat maaf dan perdamaian, namun seolah Nata bisa langsung menebak pikirannya, dan dengan mudahnya dia memaafkan?

Hati lo ini... terbuat dari apa, sih, Nat?

"Saudara Rio, ada yang ingin bertemu dengan Anda." Seorang polisi datang memutar kunci, membuka gembok hingga menarik perhatian keduanya.

Rio menoleh, sebelum menoleh lagi ke arah Nata saat pintu jeruji itu sudah terbuka lebar-lebar. Lalu cowok itu berdiri. "Bokap gue," ucapnya, lalu menepuk-nepuk pundak Nata dua kali. "Lanjutin entar, gue mau ketemu bokap gue dulu."

Nata mengangguk, membiarkan Rio menemui ayahnya. Kini senyum Nata perlahan luntur saat perlahan punggung tegap Rio tidak terlihat di kedua matanya lagi. Cowok itu menelan ludah teringat sesuatu lagi.

Siapa yang akan datang membebaskannya dari sini?

***

Rea sedari tadi hanya mengaduk-aduk lemon tea-nya dengan sedotan dengan tatapan kosong. Tubuhnya ada di kantin dengan Karin, namun pikirannya mengarah ke kejadian pagi-pagi tadi di jalan. Sekarang tuh cowok beneran ditahan? Nggak sekolah lagi, dong?

Senggolan bahu dari Karin menyentak tubuh Rea.

"Mikirin apaaa, hayooo?"

"Nggak mikirin apa-apa," geleng Rea sambil menyeruput minumannya dan berpura-pura bersikap santai-santai saja seolah tidak terjadi apa-apa. Ngapain juga dia harus memikirkan cowok itu? Memang seharusnya jeruji besi tempat aslinya, kan? Dari awal saja sudah jelas kalau cowok itu adalah cowok yang tidak benar.

"Nata nggak hadir hari ini? Atau... dia bolos lagi?" tanya Karin penasaran karena setalah dia bolak-balik kelas Rea, tidak mendapati ransel atau tanda-tanda keberadaan penghuni sebelah tempat gadis itu duduk. Ini memang bukan yang pertama kali, tapi Karin sebenarnya hanya ingin berbasa-basi saja karena tidak ada topik.

"Ya iyalah... orang dia pagi-pagi tadi ditahan polisi."

"WHAT?!" Karin terlalu terkejut untuk bereaksi. "Ditangkep maksud lo? Dia salah apa? Kok lo bisa tahu?" Dia menormalkan suaranya, lalu tiba-tiba tersenyum lebar menyadari sesuatu. "Ohhh, pantes... dari tadi ngelamun mulu. Ternyata mikirin Nata, to? Ha-ha-ha." Karin menepuk bahu Rea sambil tertawa membentuk suku kata.

Rea meliriknya sinis. "Siapa juga yang mikirin dia? Ya justru gue seneng. Kriminal Abipraya akhirnya ketangkep juga." Dia tersenyum puas mengingat kejadian tadi pagi.

Karin menatapnya penuh selidik. "Udah gila lo. Orang lagi susah malah diketawain. Kasihan tahu!"

"Ya salah sendiri. Tujuan mau sekolah malah tawuran. Yang lebih kasihannya lagi, tuh, orang tuanya. Kapok tuh anak dimarahin habis-habisan pasti."

Karin geleng-geleng tidak habis pikir saat melihat Rea tertawa, menertawakan orang yang tengah terkena musibah. "Masalahnya, lo tahu nggak siapa orangtuanya? Lo, kan, pernah jalan sama Nata? Besar kemungkinan lo diceritain dong sama dia, siapa orang tuanya?"

Rea memiringkan kepalanya. "Ng...gak, tuh? Emangnya nggak ada yang tahu?"

Karin mengangguk-angguk dengan mulut penuh roti isi kacang, menelannya dulu, sebelum menjawab, "Kehidupan dia tuh misterius. Yang lain juga ngerasa gitu. Pas penerimaan raport nggak ada yang dateng ngambil raportnya. Atau kayaknya... dateng terlambat, mungkin... waktu para wali murid lain udah bubar? Seolah privasi banget siapa orangtuanya. Bener-bener nggak ada yang tahu," gelengnya heran. "Gue aja penasaran, apalagi yang lain?"

NATAREL✔️Where stories live. Discover now