34 | Tanding Voli

36 15 18
                                    

"Ihhh! Bego banget, sih?!"

"Yaaa sorry..., kan, nggak tahu? Kagak liat tadi."

Rea memejamkan matanya rapat. Menahan amarah yang memuncak. Kepalanya mengerat pada bolpoin dan ujung kertas pada bukunya. Bisa-bisanya... bisa-bisanya cowok itu... melakukan hal itu lagi!?!

"Emang kenapa, sih? Panik amat, dah. Kan gua bisa bikinin lo lagi. Tenang. Stok segudang di belakang. Mau?"

Sebenarnya tidak sampai segudang juga, itu hanya candaan Nata untuk menenangkan Rea. Dan ini memang bukan kejadian pertama kali, tapi kenapa cowok itu melakukan hal itu lagi setelah hari itu di pabrik rongsokan? Otomatis mengingatkan Rea lagi, dong?

"Gue udah nggak nafsu! GUE BENCI MATCHA! GUE BENCI MATEMATIKA!"

Nata mengerjap tidak mengerti kenapa Rea sepanik dan se-lebay ini hanya karena setelah Nata tidak sengaja meminum bekasnya? Kenapa juga gadis itu mendadak membenci matcha? Kalau Matematika sudah jelas. Tapi matcha bukannya minuman favorit gadis itu? Padahal hanya secangkir kopi, dan Nata bisa membuatkannya lagi, kan? kecuali...

Nata ngakak baru menyadari sesuatu yang pantas saja membuat Rea bisa sepanik ini. Rea masih menatap Nata kesal, diam-diam merasa aneh kenapa cowok itu mendadak tertawa tanpa sebab.

"Ohhh, gue sekarang tahu nih, kenapa lo jadi panik," ucap Nata tenang dengan senyum miring meremehkan. "Jadi, lo sangka gue tadi ambil ciuman secara nggak langsung gitu, kan?"

Mampus! Mendadak semburat merah merambat dari telinga ke pipinya. Nata ternyata bisa menebak pikirannya hingga membungkam mulutnya.

"Ya elah... lo kalo mau langsung, bilang aja, kali," senyum Nata jahil, dan itu senyuman yang paling menyebalkan yang pernah Rea lihat seperti sebelum-sebelumnya. "Mau di mana? Di sini? Langsung?"

Rea sontak memukul kepala Nata gemas dengan buku paket Matematika di depannya begitu Nata dengan santainya mengajak demikian, di saat Rea sedang tidak terima, justru cowok itu mengajukan tawaran-tawaran bodoh?

Nata berhenti tertawa begitu mendapat serangan tanpa aba-aba itu, digantikan dengan ringisan, jemari kanannya mengusap-usap kepala yang baru saja dipukul, bibirnya mengerucut saat melirik wajah ganas Rea.

"DIEM LO!" Rea mati-matian menahan untuk tidak tersipu. Bibirnya cemberut menatap buku, menghindari kontak mata dengan Nata agar rasa deg-degannya tidak semakin menjadi-jadi.

"Cieee, baper, nih? Berarti bener, kan, apa yang gue bilang?"

Rea mendelik begitu mengangkat wajah lagi. "Baper pantat lo! Gue mau bikin lagi aja, ah!" Rea buru-buru berdiri sambil membawa cangkirnya ke belakang untuk dicuci, baru membuat matcha lagi. Sebenarnya, tadi hanya refleksnya saja mendadak mengatakan 'benci' terhadap matcha.

"NGGAK MAU SECANGKIR LAGI SAMA GUE?!" teriak Nata dari ruang tamu.

"OGAH! MULUT LO BAU AZAB!"

Nata ngakak terpingkal-pingkal.

•••

Rea pulang tidak diantar oleh Nata. Akan ada dua hal yang bisa menggangu pikirannya jika hal itu terjadi. Pertama, Oma. Dia tidak akan tenang memikirkan kata-kata mutiara Omanya, sepanjang malam harus diberi makan omelan Omanya, bagaimana Rea bisa tidur nyenyak? Dan yang kedua, karena kejadian tadi, Nata pasti di sepanjang jalan akan terus menjahilinya sampai kiamat, tidak ada selesai-selesainya mereka bertengkar.

"Kamu nggak perlu masak malam ini."

Langkah Rea di anak tangga pertama terhenti saat disambut kata-kata Omanya. Bukan kata-kata suruhan seperti biasa, melainkan kata-kata yang tidak biasa.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now