51 | Gentleman Sesungguhnya

25 10 2
                                    

"Selama lo sama Rea nggak ada ikatan pernikahan, apa salahnya kita bersaing secara sehat? Kita liat aja nanti, Rea bakal selamanya milik siapa. Dan, kayaknya sandiwara lo kali ini bakalan sia-sia."

"Lo tahu? Kelakuan lo sekarang nggak ada gentle-gentle-nya sama sekali. Malu dong sama bawahan lo. Pria sejati tuh, ya, yang ngebiarin ceweknya bebas. Bukannya malah ngrepotin. Itu namanya pecundang. Gunanya lo peringkat satu di sekolah apaan? Cari muka?"

•••

"Sorry, gue jadi banyak ngerepotin."

"Nggak, kok, kan emang gue sendiri yang punya tanggung jawab ngurusin lo selama lo sakit."

Kedua mata Nata terpejam nyaman menikmati kepalanya dipijat-pijat oleh jemari Rea dengan air mengalir membanjiri kepalanya. Apalagi yang paling utama membuatnya merasa nyaman adalah Rea.

Lelaki itu tidak pernah melunturkan senyumnya selama Rea masih ada di dekatnya. Bahkan Rea tidak mempermasalahkan rambut Nata yang sedikit lepek, mungkin cowok itu jarang merawat diri sekarang karena lebih disibukkan dengan pekerjaan. Hal-hal yang seperti ini sudah biasa Rea tangani.

Kini Rea menunda mengeramasi Nata karena masakannya di dapur sudah ditinggalkan begitu lama, sepertinya sudah matang. Nata setia menunggu saat Rea beranjak ke belakang untuk mengambilkannya makanan.

Sebenarnya cowok itu sedikit ragu-ragu dengan masakan Rea. Mau tahu kenapa? Karena di dalam kulkas Nata hanya ada sedikit sayur, telur, dan satu bungkus spaghetti di kardus. Namun, tadi Rea tampak tidak mempermasalahkan semua itu seolah baginya adalah hal mudah.

Awalnya juga Rea sempat membuat dapur berantakan, seperti saat mengambil spaghetti, isinya tumpah setengah. Saat sudah direbus, spaghetti itu dipotong-potong, kemudian dibuat omelet bersama telur, dan diberi bumbu-bumbu seadanya. Hal itu jelas membuat Nata ragu-ragu. Nata menutupinya dengan alasan menyuruh Rea berhenti memasak karena lauk yang tersedia tidak lengkap, tapi Rea nekat meneruskan pekerjaannya.

Saat baru dua kunyahan Nata disuapi Rea, gerakannya berhenti, dan membuka matanya lagi. Lidahnya mendadak ingin memakan lagi. Ternyata masakan Rea tidak seburuk yang Nata pikirkan walau sempat membuat dapur berantakan. Dan yang lebih mengesankan, tatanan omelet di atas piring begitu cantik walau hanya bermodal serai dan daun bawang.

"Kenapa?"

Nata menatap mata Rea yang terlihat tidak mengerti kenapa Nata berhenti mengunyah dan menatapnya seperti itu. "Lagi," titah cowok itu.

Rea pun kembali menyuapi Nata lagi walaupun makanan tadi belum Nata telan sepenuhnya. Nata terus meminta Rea agar cepat menyuapinya—tapi saat gadis itu kecepatan, Nata menghentikannya untuk berkata, "Gini-gini lo pinter masak juga, ya? Wah, kalo jadi bini gue—mmph!"

Rea membekap mulut Nata spontan, menghalangi kata-kata modal dusta dari raja gombal itu keluar. Sebenarnya bukan karena geli, entah kenapa Rea selalu merasa tersihir.

"Nggak usah mimpi, deh, lo. Awas, nyasar."

"Kalo nyasarnya ke hati lo, sih, nggak masalah."

"Kalo nyasarnya ke hati lo, sih, nggak masalah."

Rea sudah menduga kalau kata-kata itulah yang akan keluar bersamaan dengan mulut Nata. Kemudian, keduanya saling tatap sebentar dan tertawa receh. Setidaknya, sebelum suara familiar laki-laki terdengar. Rea meletakkan piring di atas konter sebelum berjalan membukakan pintu utama. Nata melongok penasaran.

Devon. Cowok dengan senyum manisnya itu menenteng satu parsel buah di satu tangan. Rea menyambutnya dan mempersilakan masuk mewakili pemilik unit itu walaupun pemiliknya tidak ikhlas.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now