48 | Ambigu

20 8 2
                                    

Rerererereeeee!

Apaaaaa, Vonnn?

Minta ajar, boleh?

Hah? Lo mau gue hajar?

Bukan itu. Maksudnya ajarin

Ajarin? Ajarin apaan? Masak?

Reeee, serius, ah.

Ajarin apa, ogeb?

Ngelukis

Lo mau jadi Seniman?

Emangnya lo nggak?

Cita-cita gue bukan Seniman.

Terus?

Mau minta ajarin di mana?!

Ke rumah gue? Gue jemput?

Jangan jemput. Gue minta antar sepupu aja.

Oke, gue tunggu.

Chatting-an itu sudah berakhir empat jam lalu, tapi pemiliknya tidak bosan-bosan membacanya berulang kali dari chat sebelumnya. Seulas senyum menggambarkan suasana hati Devon hari ini. Setidaknya sampai matanya tertuju pada seorang gadis yang masih sibuk menambahkan cat air di lukisannya yang sudah nyaris lebih sempurna kalau Rea tidak menyempurnakannya lagi.

"Lo belum bosen? Punya gue udah selesai, kan?"

Rea menoleh sebentar. "Belum. Masih pengen ngelukis aja."

Mike adalah kepercayaan Omanya Rea. Jadi, laki-laki itulah yang mengantar jemput Rea kemanapun Rea pergi. Oma percaya Mike tidak pernah berbohong karena orangtuanya juga kepercayaan Oma. Rea sampai sekarang masih heran, kenapa Oma masih sedikit tidak menyukai Irfan dan Rea? Bisa dibilang, dulu Oma pernah sempat tidak memberi restu ayahnya menikahi putri Oma (Ibu kandung Rea), itulah kenapa sampai sekarang Oma dan Irfan terlihat sedikit tidak akur.

"Muka lo masem gitu. Lagi ada yang dipikirin? Masalah apa lagi, nih? Nata lagi?"

Gerakan melukis Rea terhenti.

"Yayaya, gue paham, Re," ucap Devon jenaka, teringat dia juga tadi menanyai masalah Rea dan Nata, dan Rea melarangnya untuk membahas lagi. "Gue nggak boleh bahas dia. Tapi... perasaan gue nggak enak. Kenapa, sih, lo nolak dia? Dia baik, loh. Nggak seperti di mata orang-orang, kalo menurut gue, ya. Jangan diliat dari penampilannya, tapi-"

"Gue tahu, Von, Nata emang baik." Rea akhirnya membalas sambil meletakkan kuas di dalam segelas air yang sudah keruh karena berkali-kali dicelup berbagai warna. "Gue lebih tahu dari siapapun. Gue... kayaknya udah nggak mau percaya sama laki-laki manapun lagi. Gue cuman... ngak mau sakit hati lagi, Dev."

Entah kenapa sekali itu, Devon ikut merasakan hatinya teriris. Cowok itu mendekati Rea, mengelus pelan kepalanya. Rea tidak mendongak, tatapannya masih bertahan di depan lukisan hasil tangannya, tapi pikirannya melalang buana entah ke mana.

"Lo boleh nggak cerita sama gue, Re, tapi jangan salahin gue kalo gue bikin orang yang udah nyakitin lo babak belur."

Sekali itu Rea mendongak diiringi senyuman tulus. Tatapan keduanya bertemu. "Makasih, ya, Dev, lo juga baik banget sama gue. Rasanya... kalo gue di deket lo, gue nyaman." Devon membalas senyuman Rea, lebih tulus. Cowok itu merasa senang dengan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Rea, gerakannya mengelus kepala Rea kini lebih lembut.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now