50 | Sandiwara Lagi

21 10 2
                                    

Rea menggigit bibir bawahnya cemas dan bergidik ngeri melihat kedua kaki Nata diperban tepat di depan matanya sendiri sementara sang empunya terus-terusan meringis menahan sakit dan sesekali mengerang saat kakinya disentuh.

"Sepertinya tulang pasien ada yang patah."

"Dok, jangan dirawat inap, ya? Soalnya saya ada banyak kerjaan yang harus diurus habis ini." Vokal Nata terdengar sedikit panik dan memohon. Bahkan Rea yakin seratus persen, dokter laki-laki paruh baya di depannya juga merasakan hal yang sama.

"Sebaiknya ditunda dulu, Mas. Kalau kaki kamu dipaksa gerak—"

"Tapi kalo saya nggak kerja sekarang juga, saya mau makan apa?"

"Dokter." Rea menyela dialog itu. Mengabaikan Nata yang kini terlihat frustasi. "Tolong lakuin apa aja asalkan dia sembuh, biar saya yang tanggung semuanya. Termasuk biaya administrasinya."

"Lo gila, Re?"

"Baik. Kalau begitu—"

"Dokter, saya nggak mau nginep," geleng Nata frustasi sambil berusaha membangkitkan tubuhnya, tapi kedua orang di depannya refleks mencegahnya untuk bangun hingga cowok itu kembali berbaring sambil mengerang efek tubuhnya dipaksa gerak. "Saya nggak mau nginep, Dok! Saya harus kerja!"

"Eh! Lo bisa berhenti buat keras kepala? Lo hidup di apartemen sendirian, sementara keadaan lo kayak gini. Siapa lagi yang mau ngurusin lo kalo lo nggak nurutin apa kata Dokter? Lo mau nggak punya kaki sekalian?"

"Tenang, tenang." Dokter itu menenangkan suasana di ruangan itu saat Nata nyaris membalas ucapan Rea walau ada benarnya juga, tapi kalau Nata tidak bekerja, kemungkinan gajinya dipotong dan tidak cukup membiayai hidupnya. "Baik, saya tidak memaksa pasien menginap di sini. Tapi, pasien setiap harinya harus kontrol, bagaimana?"

"Setuju!" Baru saja Nata membuka mulut hendak membalas, tapi Rea mengalahkannya lebih dulu.

Dokter itu keluar setelah berpamitan. Begitu sosoknya sudah tidak terlihat lagi, Rea menatap Nata yang mengamati kakinya dengan nanar.

Rea menggumam setelah tersadar ada yang ingin dia sampaikan sedari tadi setelah membuat kesalahan. "Maafin gue, ya? Gue... gue nggak bermaksud bikin lo kayak gini, sumpah. Tapi gue janji kok bakalan bayarin semuanya—"

"Lo kira gue cowok apaan yang begitu gampangnya nerima uang dari lo?" Nata hanya menoleh sebentar. Kejadian ini juga gara-gara Rea, tapi saat gadis itu hendak bertanggungjawab, membayar semuanya, tetap saja Nata menolak hal itu mentah-mentah seperti saat tadi Rea menolak digratisi.

"Please, Nat, gue lagi nggak mood buat berdebat sama lo."

"Gue udah ada uangnya. Berapapun biayanya, gue ada uangnya." Netra Nata bertemu dengan kedua netra Rea dalam.

"Lo masih mau kerja?" Rea menggumam. "Bukannya, lo masih ada nyokap lo, ya, yang biayain semuanya?" Akhirnya gadis itu berani bertanya.

Nata menghela nafas. Sebenarnya dia tidak mau menceritakan semuanya kepada siapapun. Tapi entah kenapa kalau bersama Rea, dia merasa gadis itu adalah tempat ceritanya yang lebih aman. "Nyokap gue emang nggak pernah absen buat biayain gue. Tapi semenjak hari itu kita debat lagi, gue ngerasa gue nggak ada hak buat ngambil uang yang selalu dia letakkan di laci gue diam-diam. Dan gue rasa, gue juga nggak seharusnya selalu bergantung sama nyokap. Apalagi gue sama dia nggak pernah akur."

Yang satu ini... Rea selalu speechless. Nata yang ini selalu terlihat sok kuat, padahal Rea sendiri bisa merasakan ada sesuatu dalam diri Nata yang remuk tapi laki-laki itu menutupinya di depan semua orang.

"Nat, kenapa, sih, harus selalu gue yang lo ceritain? Temen lo banyak, tapi di antara mereka semua nggak ada yang tahu, kan, sama kehidupan lo yang sebenarnya?"

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now