30 | Kehadiran Oma

33 13 4
                                    

Nata memarkirkan motornya di depan kafe Sinabu. Menurunkan standar motor, dia bergegas turun dari motor bersamaan dengan helm yang dilepas. Terik matahari menerpa wajahnya, otomatis membuat matanya sedikit menyipit. Langkahnya dipatri hendak memasuki kafe. Belum sampai mencapai pintu dari jarak jauh, matanya menangkap Karin yang baru saja bergegas keluar kafe sendirian. Kebetulan sekali. Tapi gadis itu terlihat buru-buru masuk mobil dan melewatinya begitu saja. Sepertinya Karin tidak menyadari kehadirannya.

Tanpa berpikir panjang, Nata melanjutkan langkahnya masuk kafe. Tumben sekali Karin ke kafe sendirian? Ke mana teman-temannya yang lain? Dan raut wajah gadis itu tadi tidak dimengerti oleh Nata. Dia tidak bisa membaca pikiran manusia.

Setelah memesan ice choco, sambil menunggu, Nata menyapu pandang sekeliling ruangan yang tampak ramai remaja-remaja seusianya, ada juga beberapa remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Dari para remaja-remaja yang dilihatnya, ada salah satu di antara mereka yang menarik perhatiannya. Seorang gadis yang tidak sendiri. Di depannya juga ada siluet familiar juga yang sepertinya tengah mengajari si gadis belajar. Keduanya terlihat begitu dekat dan serius. Rasa penasarannya terbayar, cowok itu sekarang jadi tahu siapa yang membuat Rea berpaling darinya.

Tanpa berpikir panjang, Nata menghampiri meja keduanya yang berada di dekat jendela.

"Wey, di sini rupanya lo."

Kepala dua orang yang tengah sibuk mempelajari buku itu bersamaan menoleh ke sumber suara. Tanpa meminta persetujuan keduanya, Nata mendudukkan diri di kursi kosong yang ditarik dari meja lain.

"Ternyata orang ini yang ngerusak rencana belajar kita?" Senyum ceria Nata masih terpampang jelas, tenang, bahkan saat pertanyaan itu keluar dan tatapan kesal Rea ditunjukan.

"Heh, emangnya nggak ada tempat duduk yang lain, apa? Ganggu banget, sih?"

"Sorry, kalo gue ganggu," ucap Nata dengan satu tangan menumpu dagu, menatap Rea dari samping. Seolah Devon di sebelahnya hanyalah ilusi. "Lo tahu nggak, Re, monyet, monyet apa yang jago sepak bola?"

Gerakan menulis Rea berhenti sejenak, merasa terganggu. Lalu menyipitkan mata ke arah Nata curiga. "Awas, ya, kalo jayus."

"Monyetakgol," tawa Nata garing.

Rea greget mencubit kecil lengan Nata, membuat cowok itu meringis. "Udah gue bilang, kan?! Dasar Nata de coco kadaluarsa! Nggak lucu!"

"Lah, siapa yang bilang gue lagi ngelucu?" tanya Nata di sela tawanya.

Bersamaan dengan Nata yang masih terbahak tidak jelas, Rea yang jadi tidak fokus belajar karena kehadiran Nata, dan Devon yang merasa jadi obat nyamuk di antara mereka berdua, seorang barista datang membawa pesanan Nata.

"Eh, elo." Kini tatapan Nata berubah seketika begitu dia memanggil Devon tanpa menyebut nama.

Walaupun begitu, Devon yang merasa panggilan itu untuknya pun mengangkat wajah dari buku pelajaran yang dibacanya. Rea yang masih kesal karena terganggu oleh kehadiran Nata juga menoleh lagi. Entah karena penasaran apa yang akan dilakukan cowok itu, atau refleks saja.

"Nggak pulang? Ntar dicariin Mama, lho." Mengusir secara halus, walau terdengar seperti mendayu-dayu, tapi kata-kata itu sedikit mengusik ketenangan Devon.

Harusnya Rea yang bertanya demikian untuk Nata. Rea pernah mendengar rumor kalau dua cowok yang sama-sama pintar di depannya ini adalah rival.

"Gue ke toilet dulu," pamit Rea. "Jangan ada yang pulang sebelum gue balik." Seharusnya Rea ingin berkata, "Nata, mendingan lo yang pulang aja sana, ganggu."-tapi urung karena Rea merasakan aura-aura dingin dan tidak menyenangkan di antara mereka.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now