44 | Keduanya Ketiduran

20 9 2
                                    

"Padahal, kan, bokap lo pengacara? Harusnya lo minta bantuan bokap lo, dong, biar nggak jadi diskors."

"Oma gue nggak ngebolehin."

"Yahhh. Eh, Re, lo tahu nggak?"

"Apaan, dah? Rel, lo kalo mau nelpon, inget situasi dan kondisi, dong. Udah malem, nih. Ngantuk."

Tawa terdengar dalam telepon. "Oke, oke, deh, langsung ke intinya, lah, ya?"

Rea menghela nafas malas. Mulutnya terlalu malas terbuka untuk berkata-kata lagi. Malas karena yang dilayani adalah Farel. Cowok itu selalu menelponnya malam-malam, mengajaknya mengobrol hal yang random.  Biasanya mereka sama-sama kesepian, jadi saling menemani malam-malam.

"Skors lo diralat. Besok, lo udah bisa masuk."

Rea rasa dia salah dengar. "What?!" Otomatis, tubuhnya ditegakkan setelah bersender di punggung ranjang. "Lo nggak usah ngarang cerita, deh, Rel. Mana mungkin?"

Lagi-lagi Farel tertawa, entah karena dia telah berhasil memperdaya Rea, atau memang dia sudah gila.

"Tuh, kan! Bohong lu!"

Tawa Farel bagi Rea selalu ngeselin. Tidak menenangkan justru merusakan. Yah, walaupun cukup menghibur.

Perlahan tawa Farel mereda, digantikan dengan nada serius. "Eh, seribu rius, Re. Ini beneran nggak bohong. Pokoknya ada, lah, yang bikin lo nggak jadi diskors. Gimana? seneng nggak?"

"Sama sekali enggak," sahut Rea malas. "Emang siapa, sih, yang bebasin gue? Gue nggak mau, ya, ketipu lagi sama lo. Udah cukup hari itu gue kena tipu lo. Gara-gara lo, gue hampir dihakimi warga, tahu nggak?"

Farel lagi-lagi tertawa teringat peristiwa yang dimaksud Rea. "Oh, oh, gue inget, gue inget. Yang waktu itu gue ngira kalo motor Nata mau diambil orang itu, kan? Terus, ternyata orang itu tukang servis suruhan Nata, yang emang disuruh buat ngambil motornya itu, kan?"

"Hmmmm." Rea bergumam malas. Demi apapun, Rea malu setengah mampus kalau mengingatnya lagi. Dan, si sinting Farel ini malah mengingatkannya? "Rel, kasih tahu gue, dong. Siapa yang bikin gue nggak jadi diskors? Gue sogok, mau?"

"Sorry, Re. Mau lo nyogok ampe gue bisa ke Antartika sekalipun, gue tetep nggak bisa ngasih tahu lo. Tugas gue cuma mau menyampaikan amanat kalo lo udah boleh sekolah besok. Sekian, terima gaji. Dadah, Nona Jaguar."

Sambungan mendadak diputus sepihak. Sinting, Farel benar-benar membuatnya penasaran. Rea menggeram menatap layar ponselnya.

•••

Bersemangat ke sekolah bukan karena berita Farel semalam, tapi dari orang yang pastinya bukan Farel yang mengatakannya lewat telepon tadi pagi. Mau tahu siapa yang menelepon Rea setelah Farel semalam? Jawabannya adalah Bu Wening.

Rea mengabaikan cewek-cewek yang mengerumuni Nata untuk bertanya-tanya tentang kondisinya saat ini setelah keluar dari rumah sakit. Sudah Rea tebak kalau Nata belum sepenuhnya pulih, tapi memilih kabur. Nata menyadari tatapan Rea dari jauh. Tapi Rea mengabaikan tatapan itu dan langsung kembali berjalan menaiki tangga dengan satu tali ransel yang dirangkul di satu bahu.

"REAAAA!!"

Rea tersentak mundur saat mendapatkan rangkulan mendadak dari Zara di koridor lantai tiga, dekat lab IPA. Beruntung Rea sudah melewati beberapa anak tangga. Kalau masih di anak tangga, dan disambut dekapan Zara itu, sudah pasti keduanya bergulingan ke bawah.

Gadis itu kesulitan bernafas saking eratnya lengan Zara melingkari leher, hingga Rea rasanya sedang dicekik. "W-woi! Gue bisa mati!"

Zara merengek-rengek malu setengah mampus saat lengannya dilepas paksa oleh Rea. Tapi yang membuatnya malu bukan hal itu.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now