60 | Uji Nyali

23 13 10
                                    

"Skandal apaan lagi tuh rame-rame?"

"Ah, itu... ketos ngadain dare, yang bisa ngambil kartu merah di perpustakaan dia bakal traktir anak-anak. Sayangnya, nggak ada yang berani. Karena lo tahu sendirilah... perpustakaan mirip gedung keramat gitu kalo malem."

Zara benar. Manusia mana yang berani memasuki kawasan perpustakaan paling luas di lantai 3 paling atas dekat gedung musik malam-malam begini? Kalaupun ada, pasti orang itu bukan manusia. Mungkin Zara menganggap Rea seperti itu karena gadis itu terlihat merasa tertantang hendak menaiki tangga.

"Re....! Lo mau ke mana, woi?"

Rea berhenti di anak tangga ke tiga begitu teman-temannya memanggil dan menatapnya horor. Hanya ada beberapa anak saja yang belum memutuskan untuk pulang hingga malam untuk mencari siapa yang berani memenuhi tantangan. Tapi begitu pelakunya ketemu, mereka justru keliatan panik. Karena... apakah ini beneran seorang Andrea Wulandari yang takut hantu sekarang terlihat berani? Atau jangan-jangan... Rea adalah hantu yang menyamar? Jin?

"Nggak ada yang mau ikut?" tawar Rea memastikan dengan gestur tenang.

Ada lima puluh siswa yang belum pulang sampai malam karena latihan paskibra, masing-masing dari kelas berbeda-beda menggeleng-geleng nyaris bersamaan. Kenapa Rea ikut paskibra? Entah setan apa yang merasukinya. Awalnya dipaksa guru agar tidak hobi bolos lagi dan dijaga anggota OSIS ketat hingga akhirnya dia terpaksa ikut.

"Lo yakin, Re, ke sana?"

"Sendirian?"

"Lo nggak takut?"

Sebenarnya jauh dari dalam lubuk hati Rea, dia sangat-sangat takut. Mau bagaimana lagi? Efek emosi sejak tadi pagi tahu skandal baru soal pacarnya mengambil alih semuanya. Jadi Rea mengedikan bahu cuek sebelum akhirnya melanjutkan menaiki anak tangga menuju lantai tiga.

Kepergiannya itu membuat pasang mata saling tukar tatap tak percaya.

•••

Gedung itu benar-benar sepi. Katanya, pernah ada cerita dari salah satu penjaga sekolah yang berpatroli kalau malam. Penjaga itu hanya membawa satu senter sebagai alat bantu. Dan pernah mendengar suara piano yang dimainkan malam-malam sangat keras dan asal-asalan. Saat itu sekolah nihil orang kecuali dirinya. Jelas saja penjaga itu lari terbirit-birit hingga akhirnya memilih mengundurkan diri dari profesi itu.

Rea hanya berbekal satu cahaya senter. Mengumpulkan tekad. Dia mengendap-endap seiring tegukan ludah susah payah. Hening sekali. Bahkan Rea sama sekali tidak mendengar teman-temannya di lantai bawah. Hanya ada suara-suara serangga dari taman belakang. Rea sampai di depan pintu perpustakaan yang sudah terbuka.

Di sinilah permainan dimulai.

Rasanya semakin dingin saja saat Rea melangkah masuk. Gelap dan sunyi. Sesekali suara benda berjatuhan terdengar. Rea menggerakkan cahaya senter ke sumber suara. Hanya buku. Tapi Rea merasa ada yang sengaja menjatuhkannya karena dia tidak bisa berpikir jernih apa yang membuatnya jatuh, dan mana mungkin angin?

Tidak ada orang di sana, bukan hanya keheningan saja. Suara-suara aneh mulai terdengar hingga tangan Rea yang memegang senter sedikit gemetaran. Perpustakaan itu luas. Rea mulai berkeliling ke rak demi rak, mencari kartu merah yang dimaksud di selip-selipan buku.

Suara-suara aneh lagi-lagi mengusiknya. Keringat dingin mulai terasa di sekujur tubuhnya. Rea tidak bisa berhenti menelan ludah susah payah. Gadis itu berteriak histeris saat cahaya senternya mengarah persis ke wajah yang sudah rusak parah.

Gerakannya refleks memukuli kepala itu dengan senter di tangannya dengan kasar.

Ternyata kepala itu bisa berteriak kesakitan juga.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now