57 | Candu Baru

19 10 2
                                    

"Kalo udah kecanduan nikotin bukannya udah susah buat ngilangin?"

"Nggak susah kok kalo udah nemuin candu yang baru."



Hujan di bulan Januari datang tiga jam sekali. Tanggal dua Januari 2024, sekolah mulai aktif kembali menempuh semester genap awal. Di sinilah Bu Wening berada, di bawah teduhan halte, tengah memeluk dan mengusap-usap kedua lengan sendiri, kedinginan, karena baru saja berlarian diiringi hujan deras hingga baju dinasnya sedikit basah.

Beliau tidak kepikiran membawa jas hujan atau payung sebagai alat untuk melindungi tubuhnya agar tidak basah kuyup. Menjadi guru paling sibuk di sekolah hingga membuatnya pulang paling akhir sudah menjadi kebiasaannya.

Entah kebetulan atau apa, saat itu mobil yang terlihat familiar berhenti tepat di depannya. Pemiliknya membuka kaca mobil, menampilkan sosok familiar dengan kacamata hitam yang bertengger. Rautnya selalu santai. Mobilnya sudah basah, tapi pemiliknya baik-baik saja.

"Butuh tumpangan?" tanya pria itu sambil menurunkan sedikit kacamata hitamnya untuk melihat sosok Bu Wening dengan jelas.

Dia lagi. Bu Wening tidak habis pikir, di dunia yang seluas ini, kenapa di saat-saat dirinya kesusahan, justru orang yang datang adalah orang ini lagi? Bu Wening tidak membenci anak dari seorang ayah ini, tapi jujur saja, dia sedikit membenci si ayah, entah karena sikapnya yang sok keren, sok muda, atau sok gaul itu.

Bu Wening hanya membalas dengan gelengan cuek sambil berpura-pura menoleh ke kanan-kiri, berharap bus selanjutnya cepat datang.

"Gue hari ini free," ujar Irfan santai. "Jadi bakal tetap di sini sampai lo masuk mobil. Nggak masalah kalo lo meminta gue ngantar sampai ke Antartika sekalian."

Bu Wening tidak menanggapi candaan-candaan itu. Ekspresinya masih sama, tidak peduli. "Sebenarnya Anda ini siapa? Kenapa Anda selalu ada di dekat saya? Anda stalker saya?"

To the point. Irfan justru tertawa mengejek, selalu begitu. Sekali wanita ini bicara jawabannya selalu nyolot. "Saya ayahnya murid Ibu."

"Terserahlah." Bu Wening mengusap-usap lengannya lagi.

Irfan yang gemas dengan tingkah guru yang justru mengabaikannya itu akhirnya turun dari mobil sambil menenteng payung. Dan mulai berlari cepat menerobos rintik-rintik hujan, mendekati Bu Wening, dan menyodorkan payung itu di bawah tempat teduh halte.

Bu Wening belum menerima payung itu justru menatap Irfan heran, sebelum tersadar karena Irfan memaksa payung itu di genggamannya. Irfan juga melepas jas kantorannya, menyisakan kemeja putih polos, lalu memakaikannya di bahu Bu Wening. Namun Bu Wening menolak keras.

Penolakan itu membuat Irfan menghela nafas mengalah, dan meletakkan jasnya di tempat duduk belakang Bu Wening.

"Gue jamin busnya datang lama." Irfan bersedekap, menoleh ke kanan-kiri sebentar, sebelum kembali menoleh ke arah Bu Wening. "Terserah lo, sih, payung sama jasnya mau dibuang atau diapakan."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Kenapa Anda begitu baik sama saya?"

Irfan tersenyum penuh arti. "Karena Anda yang telah membuat senyum anak saya terbit lagi setiap kali dia bercerita tentang Anda di sekolah."

Bu Wening mengerjap. Rea... tersenyum? Lagi? Karenanya? Guru itu merasa ganjal dan aneh dengan sikap seorang ayah dan anaknya ini.

NATAREL (SELESAI✔️)Where stories live. Discover now