KM 20 - Rangkai Lagi Satu-Satu

3.5K 551 191
                                    

Punggung Indira menegak sesaat sosok yang ia tunggu muncul. Reino memasuki area Harlan dengan ponsel di telinganya. Tadinya laki-laki itu ingin menelepon Indira untuk menanyakan di mana dia, tetapi ia mematikan sambungan lagi begitu menangkap perempuan itu duduk di pojok coffee shop.

Reino berjalan menghampirinya, kemudian duduk berseberangan dengan Indira. "Sorry, I'm late. Biasalah. After office traffic." Ia menyimpan lagi ponselnya di saku.

Indira hanya tersenyum, menandakan tidak apa-apa. Genggamannya di cup Butterscotch mengerat, sedikit berdebar. "Kamu order dulu aja."

"No need. Let's get into our business. What's up?" Reino berkata straightforward, ingin tahu apa alasan Indira mengajaknya bertemu after office.

Sialan, padahal Indira ingin sok basa-basi dulu agar suasana di antara mereka cair. Itu juga bisa mengulur waktu untuk Indira mengatakan tujuannya. Reino bertopang dagu, menatapnya lurus.

"Aku... mau jujur." Indira menggigit bibir bawahnya, melihat Reino sedikit enggan. "I'm not comfortable with us..."

Sebelah alis Reino meninggi. "What about us?"

"'Us'."

Telunjuk Indira menunjuk dirinya dan Reino bergantian.

"Apapun namanya itu yang ada di antara kita. Aku merasa ada gap besar di antara dunia kamu dan duniaku. Rentang usia kita jauh. Setiap kali aku bertemu teman-teman kamu yang jauh lebih tua itu, I feel like I don't belong there. Aku selalu ingin menjauh setiap kamu mendekat melalui chat-chat kamu yang sering. Itu kenapa aku enggak siap saat kamu pengin datang ke rumah orang tuaku," ungkap Indira. "Karena aku rasa kita enggak cocok untuk lanjut sampai ke tahap itu."

Awalnya Indira kira mereka memiliki banyak kesamaan, tapi rupanya ketertarikan pada hal yang sama tidak cukup untuk membuat hubungan-apapun-namanya-itu di antara mereka berhasil. Indira berusaha menjadi 'dewasa' seperti Reino dan teman-teman kepala tiganya, mengatur ulang mindset-nya sendiri, mencoba memahami apa yang mereka bicarakan, tapi semua itu hanya berujung pada satu hal: she doesn't feel like herself anymore.

Reino menatap Indira lama tanpa mengatakan apapun. Dari raut Reino yang tetap datar, Indira jadi menerka-nerka apa yang laki-laki itu pikirkan. Apakah Reino akan sedih? Apakah Reino akan kecewa? Indira yakin ia akan merasa bersalah jika Reino sampai menangis bombay.

Akan tetapi, penantian itu diakhiri dengan terlontarnya sebuah decihan geli dari Reino. Laki-laki itu mengubah posisi duduknya menjadi bersedekap, menatap Indira dari atas sampai bawah.

"As expected," ujar Reino, menggeleng pelan. "Ku kira macarin anak kecil kayak kamu akan jauh lebih mudah untuk diatur, tapi rupanya mindset kamu yang kaku itu benar-benar driving me nuts."

Indira mengernyit. "Excuse me?"

"You know what, Indira? I always told myself to give you a try, even ketika teman-temanku ngomongin kamu di belakang betapa anak kemarin sore kamu itu. Ku kira dengan 'ABG' rasanya akan berbeda. But I was wrong." Reino tertawa kecil. "Who the hell have a 9pm curfew? You're 20 something, Indira. I didn't even think about my parents when I was your age. But yeah, lumayan fun lah nge-date ABG kayak kamu. I might try again, but not with someone who has a 9pm curfew nor seeing alcohol as some kind of a biggest sin on the planet."

Indira menatap Reino tak percaya. Cengkramannya pada cup mengerat, merasa gondok. Maksudnya, Reino mengejek batasan-batasan yang Indira pegang teguh? Memangnya menjadi dewasa harus jadi serba bebas seperti clubbing sampai subuh, minum minuman haram, makan makanan haram, atau berpacaran jauh sampai ciuman? Padahal ibunya pernah mengatakan, menjadi dewasa bukan berarti sudah bebas melakukan apa saja, tetapi menjadi dewasa adalah kita memahami apa risiko dan tanggung jawab atas kebebasan yang dimiliki.

Rest AreaWhere stories live. Discover now