q. selamat jalan kekasih.

4.4K 523 136
                                    

2020

"Yan, kondisi Abang Panji makin kritis..."

Indira berkata di video call sambil menangis.

"Saturasi oksigennya drop ke 80. Dokter bilang, kalaupun Abang sembuh, Abang nggak bisa pulih 100%. Paru-parunya udah rusak. Abang harus hidup dibantu oksigen terus. Abang nggak bisa normal kayak dulu lagi. Abang bilang rasanya sesak banget waktu pertama kali datang ke rumah sakit. Sekarang oksigen di badannya makin turun, bayangin gimana nggak bisa napasnya Abang di HCU?"

Kondisi Panji memburuk seiring waktu. Panji harus dilarikan ke HCU, High Intensive Care Unit—bukan ICU lagi. Saturasi oksigennya rendah. Sempat satu kali membaik—dapat menyentuh angka 90 saja sudah bagus—tetapi kini turun lagi ke 80 dan tak meningkat juga.

Raihan melihat sedih Indira yang menangis melalui video call. Ia ingin sekali berada di sampingnya, sangat ingin. Hanya saja, kondisinya tak memungkinkan untuk Raihan pulang ke Jakarta, apalagi ia sedang UAS. Jadi, yang bisa Raihan lakukan adalah menenangkan seadanya dari kejauhan.

"Cup, Ra, yang sabar ya, Sayang..." ucapnya, ikut prihatin.

Raihan mengenal Panji. Tentu saja ia merasakan bagaimana sedihnya Indira melihat kakaknya mendekam di HCU sendirian. Mereka tak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Panji hanya untuk bernapas seperti dulu dan bagaimana Panji harus menguatkan dirinya sendiri karena keluarganya tak berada di sisinya.

Tiga minggu yang lalu, Panji masih terbahak-bahak kencang karena mengisengi Indira yang sedang kuliah online. But who would've thought, tiga minggu kemudian, Panji akan terbaring di HCU tanpa keluarga dengan alat bantu napas besar di kepalanya hanya untuk mendapatkan oksigen.

"Abang Panji juga lagi berjuang untuk sembuh di sana. Abang juga pengin cepat pulang, kumpul sama keluarga lagi, ketemu Mama dan Papa lagi, ngisengin kamu lagi. Sayangnya, semua di luar kuasa kita, yang bisa kita lakuin cuma sama-sama berdoa." Raihan berusaha menenangkan. "Doanya jangan putus ya, Ra. Aku juga selalu bantu doa dari sini."

Indira meraih tisu untuk kesekian kali. Setiap hari, Raihan meladeni video call-nya yang selalu berisi tangisan dan update mengenai kondisi Panji. Raihan berharap video call yang ia terima membawa kabar baik, sayangnya hingga saat ini belum ada.

Setiap hari, Indira dan orang tuanya berkunjung ke rumah sakit. Mereka hanya bisa melihat Panji secara virtual melalui video call ponsel dokter di ruang HCU dan suster di luar ruang isolasi. Dokter mengarahkan ponselnya ke Panji. Kondisi Panji masih sama seperti kemarin-kemarin, tidak ada peningkatan.

"Gimana, Bang? Udah enakan?" Sang ayah bertanya seraya berdempetan bertiga agar masuk ke frame. "Janji sama Papa ya, Bang, besok bisa pulang. Kita udah nungguin Abang terus nih di rumah."

"Bang, cepatan pulang ya, Nak. Indira bosan tuh enggak ada yang ngisengin." Ibunya menimpali.

"Abang pasti sembuh, kan? Besok Abang bisa pulang, kan?" sahut Indira. "Jangan sok sakit ah, Bang! Apaan, sih! Biasanya nyebat satu kotak sehari bisa!"

Jika ini adalah tiga minggu yang lalu, Panji pasti akan menjawab dengan, "berisik lo, Bocil!", disusul dengan lemparan bantal sofa tepat di wajah Indira, lalu ciprat-ciprat air wudhu. Tetapi saat ini Panji hanya tersenyum di balik alat bantu napas besar yang menutupi setengah wajah. Sangat menyedihkan ia tak bisa menggapai keluarganya secara langsung.

Indira memandangi lama kakaknya di layar. Siapa yang menyangka Panji akan seperti ini? Kakaknya adalah orang tersehat di dunia. Bahan bakar hidupnya adalah mengisengi adiknya sampai mengamuk dan baru kapok kalau ibunya memisahkan mereka. Panji selalu menertawakan musibah adiknya, tetapi Panji jugalah yang berinisiatif menemani Indira pergi ke Bandung untuk bertemu Raihan. But again, seperti kata Raihan, semua di luar kuasanya.

Rest AreaWhere stories live. Discover now