f. masihkah kauingat cobaan terberat kita, matematika?

2.5K 442 72
                                    

2014

"Namaku masih aman di urutan kesepuluh." Indira berkata melalui Skype. "Kamu di mana?"

"Aku masih kesebelas, Ra," jawab Raihan, memandangi namanya yang tak bergeser di SMAN 800 jurusan IPA.

Hari ini adalah hari terakhir seleksi online Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun 2014. Indira memilih SMA 700 jurusan IPS sebagai pilihan pertamanya, salah satu SMA negeri unggulan yang juga merupakan almamater Panji. Sementara itu, Raihan memilih SMA 800 jurusan IPA yang merupakan SMA negeri lebih unggulan lagi dari SMA 700.

Selama periode seleksi, yang setiap hari Raihan dan Indira lakukan adalah mengecek web PPDB sambil melakukan Skype berdua. Jika nama mereka tergeser satu urutan, mereka akan heboh dan panik sendiri melalui video call. Jika nama mereka tetap aman, mereka akan lanjut mengobrol hal tak penting hingga baterai iPad habis. Menghabiskan sisa waktu bersama sebelum berpisah, kata Indira. Seolah-olah mereka akan terpisah beda planet hanya karena tak satu SMA.

"Iya dong, Yan. Nanti kita jadi jarang main. Kamu sekolah di mana, aku sekolah di mana. Ketemunya susah."

"Kan kita bisa janjian, Ra."

"Aku tiap main bareng kamu aja nyolong-nyolong pulang sekolah." Indira merebahkan dirinya di tempat tidur setelah puas melihat urutan. "Susah nih, Yan. Aku nggak bisa nyusul kamu kayak di EF dulu."

Raihan terkekeh. "Kenapa ya, Ra, waktu berlalu begitu cepat? Kayaknya baru kemarin kita ketemu waktu MOS."

"IIIIHH?!" Indira sontak bangun lagi. "Kamu masih ingat aja?! Bahahahaha!"

"Ingat, lah! Gila, Ra, kamu tuh jutek banget. Parah."

Banyak yang bilang, orang pendiam sering disalahartikan sebagai sombong, dan itulah yang terjadi saat Raihan pertama kali bertemu dengan Indira. Raihan ingat sekali hari itu adalah hari pertama MOS. Mereka berkumpul di lapangan untuk apel pagi sekaligus mendengar kata sambutan kepala sekolah yang tak ada penting-pentingnya.

Raihan celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Semua memiliki wajah asing. Wajah anak kelas 6 SD yang dulu terlihat paling tua satu sekolahan, kini menjadi yang paling bocah di antara anak SMP.

Sebuah senggolan ia rasakan di lengan kirinya.

"Sori."

Disusul satu kata maaf sederhana dari anak perempuan di sebelahnya.

Raihan menengok. Di sebelahnya, berbaris seorang anak perempuan yang satu kelas dengannya. Alis perempuan itu mengerut karena panas. Persis seperti adegan-adegan klise drama sekolahan sejuta umat di mana nanti akan datang seseorang yang membawakan minuman dingin bak pangeran. Tentunya, orang itu bukan Raihan.

"Namanya siapa?" Raihan inisiatif bertanya.

Beberapa detik delay hingga pertanyaan Raihan mendapat jawaban.

"Indira." Perempuan itu menjawab pendek.

"Gue Raihan."

Tak ada jawaban lagi. Raihan menunggu beberapa saat, tetapi rupanya ia memang tak mendapat jawaban.

"Panas banget, ya?" ujar Raihan berbasa-basi, mengikuti Indira mengipas-ngipas. "Kepseknya lama banget ngomongnya."

Tak ada jawaban.

"Teman sekolah gue banyak yang masuk sini, tahu. Itu satu baris yang dihukum di depan, teman sekolah gue semua."

Tak ada jawaban.

"Mereka tuh suka telat dari dulu. Apa lagi yang itu tuuuh, namanya Fadil Kenandra. Sekarang pas hari pertama MOS syukurin deh dihukum."

Tak ada jawaban.

"Dihukum pas panas-panasan gini lagi. Untung kepseknya udah mau selesai ngomong sekarang."

Tak ada jawaban.

Satu detik menunggu, dua detik menunggu...

"Oh."

Jutek banget, najis, Raihan membatin.

Indira tampak tak berminat membangun percakapan, tampak tak sadar juga bahwa Raihan tengah melihatnya lama seolah itu dapat memecahkan kepalanya. Karena gayung tak bersambut, Raihan pun akhirnya ikut diam.

Raihan ingat sekali ia jadi penasaran dengan Indira sejak kejadian itu. Ketika apel selesai, ia jadi mencari-cari sosok Indira ada di mana. Indira, yang saat ia ajak mengobrol hanya memberi respon singkat sambil memasang wajah judes, justru tertawa-tawa lepas saat bertemu teman pertamanya, Tita. And who knows, rasa penasaran itu berlanjut dan tumbuh menjadi rasa suka karena memandanginya dari jauh saja tidak cukup. Raihan ingin mengenalnya.

Tiga tahun kemudian, siapa yang tahu, mereka sedang ber-video call menertawakan pertemuan pertama yang tak ada romantis-romantisnya?

"Sedih deh, Yan," Indira menghela napas. "Nggak bisa ya kita bareng-bareng terus?"

Jika ada salah satu teman mereka yang mendengar itu, apalagi Gara dan Martin, mereka pasti sudah diteriaki kencang-kencang tepat di telinga seperti ini:

'LO TUH NEMPEL 24 JAM MULU, BEGEEEE. MASIH KURANG JUGAAAAA?! ANJRIIIIIIIT.'

"Nanti kita janjian aja kalo mau ketemu. Lagian pas SMA, orang tua kamu paling udah nggak se-strict dulu. Kan udah gede."

Raihan berusaha menghibur, sebelum melanjutkan dengan enteng.

"Enak tahu, Ra, jadi orang gede. Bisa lebih bebas."

Indira mengangguk-angguk. Benar, mungkin orang tuanya tak akan seprotektif itu mengingat ia sudah bukan bocil SMP lagi.

"Eh, udah dulu, ya. Aku mau pergi nanti siang sama Mama."

"Oke. Balas LINE aku ya, Ra."

"Sip, sip."

"Dadaaah."

"Daaah."

Mereka melambaikan tangan. Sambungan pun putus. Raihan menaruh iPad-nya di meja.

Tersisa dua menit lagi hingga seleksi ditutup. Jika namanya masih aman di pilihan pertama, itu artinya besok ia resmi diterima sebagai murid SMA 800. Raihan memandangi tiga pilihan SMA-nya di website.

Pandangannya turun ke pilihan kedua.

Sepenglihatannya, banyak teman SMP-nya yang masuk ke SMA 700. Ada Gara, Dirga, Indira, dan teman-teman dari kelas lain. Nama teman satu ekskul futsalnya pun ada di sana. Sementara di SMA 800, hanya ada beberapa teman SMP-nya dan mayoritas adalah nama anak-anak pintar. Tidak ada teman-teman futsalnya sama sekali. Membosankan.

Satu menit tersisa.

Raihan tak berkutik memegang mouse-nya.

Lima...

Ia perlahan menggeser mouse dan mengeklik satu kali.

Empat...

Namanya hilang dari daftar calon peserta didik SMA 800.

Tiga...

Kemudian muncul sebagai nomor satu di daftar lain.

Dua...

"Satu! YESSSS!!!"

Raihan sontak naik ke tempat tidur dan berjingkrak-jingkrak girang.

Seleksi online resmi ditutup. Nama Raihan hilang dari SMA 800 dan menempati urutan pertama di jurusan IPA SMA 700 setelah ia mengganti pilihannya. Ia merelakan SMA 800 dan menukarnya dengan pilihan kedua di menit terakhir. Itu artinya, ia akan satu sekolah lagi dengan Indira. Persis seperti keinginannya, untuk terus bersama-sama dan tak terpisahkan...

... setidaknya pada saat itu.

***

Rest AreaWhere stories live. Discover now