KM 17 - Bagaimana Kalau Aku Tidak Baik-Baik Saja

3.8K 675 142
                                    

Raihan memutar-mutar jepit rambut di tangannya yang sudah berhari-hari menumpangi meja belajarnya. Jepit rambut itu kini menjadi teman bicaranya setiap malam jika sedang banyak pikiran, sebagaimana pemiliknya dulu menjadi pendengar setia Raihan. Topik malam ini adalah tentang sahabatnya dan confession di malam tahun baru.

Semenjak confession Andara, hubungan mereka tak seerat dulu. Andara masih menyapa dan mengajak bicara Raihan seperlunya, tetapi tak lagi mengajak Raihan makan siang berdua atau datang ke kubikelnya jika sedang bosan. Ada perasaan bersalah di hati Raihan karena sudah menolaknya. Akan tetapi, bukankah itu adalah jalan terbaik untuk mereka berdua?

Perasaan Raihan tak bisa dipaksakan. Andara juga tak seharusnya diberikan harapan kosong. Mereka terlalu sama. Terlalu sama hingga Raihan berpikir bahwa mereka cukup berdampingan saja, bukan menyatu. Itu kenapa ia tak pernah terbawa perasaan setiap Irfan 'menjodohkannya' dengan Andara.

Satu hal yang Raihan baru sadari, perbedaan justru bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Seperti bagaimana Indira yang introvert terus didorong untuk mengeksplor diri oleh Raihan yang extrovert, atau bagaimana Raihan yang idealis harus selalu disadarkan tentang kenyataan oleh Indira yang realistis.

Lelaki itu termenung menatap jepit rambut di tangannya. Pikirannya melanglang buana kepada pemiliknya. Dibandingkan ia menjadi gila sungguhan karena mengajak bicara jepit rambut itu, lebih baik ia segera mengembalikannya.

Raihan meraih ponselnya, hendak mengirimnya menggunakan Go-Send. Ia mengetik alamat yang sudah ia hafal sekali layaknya alamat rumah sendiri. Jarinya tinggal menekan order, namun Raihan menggantungkan ibu jarinya di atas layar. Lelaki itu menimbang-nimbang apakah ia harus melakukannya. Pada akhirnya, yang Raihan lakukan adalah beranjak dan meraih kunci motor.

***

"Mbak Indira sama Ibu enggak ada di rumah, Mas. Lagi pada ke rumah sakit soalnya Bapak anfal."

Penuturan ART Indira itu sukses membuat Raihan bergeming di depan pagar. Anfal? Ayah Indira terkena serangan jantung lagi setelah sekian lama?

"Dari kapan? Di rumah sakit mana?" tanya Raihan, ikut khawatir.

"Baru aja, Mas. Pulang dari makam Mas Panji. Dibawa ke Siloam."

Pandangan Raihan berubah tak menentu. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Ayah Indira mengalami serangan jantung untuk pertama kalinya sekitar dua tahun lalu, tetapi keadaannya membaik dan tak pernah kambuh lagi. Itu kenapa Raihan cukup kaget saat menerima informasi tersebut. Ayah Indira anfal lagi setelah berziarah ke makam Panji.

Raihan mengucapkan terima kasih kepada ART Indira, kemudian kembali naik ke motornya. Alih-alih melaju pulang, Raihan berbelok ke jalan raya menuju Jakarta Pusat.

Mungkin ia gila karena berniat menyusul Indira tanpa berpikir panjang. Menampakkan wajahnya lagi di hadapan perempuan itu out of nowhere di waktu yang tak tepat pula. Raihan hanya ingin memastikan Indira baik-baik saja, bahkan jika bisa terus berada di sampingnya sebagaimana dulu ia menemaninya saat Indira mengalami downfall di tahun kelam. Pun jika perempuan itu langsung mengusirnya, ia akan menerimanya. Akan lebih bagus jika ia menjadi samsak Indira untuk pelampiasan emosi dibandingkan perempuan itu memendamnya sendiri.

Perjalanan yang cukup jauh itu ditempuh dalam waktu setengah jam. Raihan memarkir motornya dengan agak terburu-buru. Ia mengeluarkan ponsel sembari berjalan menuju pintu lift, meruntuhkan pride-nya sendiri untuk menelepon seseorang yang dulu selalu berada di posisi teratas history call-nya, namun kini menjadi di paling dasar.

Rest AreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang