KM 18 - Tak Segampang Itu

4K 634 147
                                    

Indira termenung menatap kamar rawat yang beberapa hari ini menerima tamu yang bukan ia tunggu-tunggu. Ayah Indira sudah dipindah ruangan ke kamar rawat biasa dari ICU. Banyak teman-teman orang tuanya dan keluarga jauh yang datang membesuk ayahnya, tetapi tak satupun dari mereka adalah seseorang yang ia harap-harapkan. Hari ini ayahnya sudah boleh pulang dari rumah sakit dan sosok yang ia harapkan belum juga muncul.

"Kamu ngapain ngelihatin pintu mulu, Dir?" Ibunya baru selesai packing pakaian ayahnya untuk pulang hari ini. "Dari tadi bengong gitu."

Indira mengembuskan napas pendek, lalu menggeleng. "Pengin cepat pulang aja."

Ia memilih untuk mengecek ponselnya, namun yang muncul di ponselnya lagi-lagi chat Reino. Sejak menemaninya di lobi rumah sakit beberapa hari lalu, Reino belum sempat bertemu keluarga Indira karena harus business trip ke Batam. Saat menemaninya di lobi saja, laki-laki itu masih ditelepon oleh atasannya hingga ia harus pulang lebih dulu. Kini, Reino beberapa kali menge-chat-nya dan mengatakan ingin bermain ke rumah Indira sekembalinya ke Jakarta nanti. Indira tidak tahu harus merespons apa.

"Kamu maju lho sekarang," komentar ibunya lagi. "Udah mau ngobrol sama teman-teman Papa dan teman-teman Mama. Dulu kamu kan langsung ngunci pintu kamar kalo ada tamu datang."

Beberapa kali teman-teman orang tuanya datang menjenguk ayahnya, Indira kini ikut duduk bersama dan mengobrol dengan mereka. Tak lagi kabur seperti dulu karena sudah terbiasa mengobrol dengan kandidat sejak bekerja sebagai Talent Acquisition.

"Bagus itu. Berarti kamu ada kemajuan. Kepribadian introvert enggak menjadi label yang membatasi diri kamu untuk berkembang. Ya, kan?"

Indira terdiam atas kalimat familier itu. Ia pernah mendengarnya sebelumnya. Lebih tepatnya, dari seseorang yang kini sudah tak menjadi bagian dari core memories-nya.

Dulu, ia mengenyahkan kalimat itu dengan alasan bahwa job desk berinteraksi banyak dengan orang asing bukanlah passion-nya. Ia juga tak percaya apa yang dikatakan orang itu bahwa ia hanya butuh jam terbang dan lebih rajin belajar saja agar terbiasa.

Satu hal yang Indira baru sadari, pemikirannya terlalu sempit hingga ia tak mau mendengarkan masukan orang lain. Perbedaan opini dari sudut pandang masing-masing seharusnya menjadi pelengkap satu sama lain, bukan menjadi gesekan yang membuat mereka semakin jauh.

Seperti bagaimana Indira dan Raihan yang hanya mau bertahan dengan pemikiran masing-masing. Seperti bagaimana hubungan mereka berakhir karena keduanya selalu tutup telinga akan satu sama lain.

***

Raihan berlari kecil ke pinggir lapangan setelah babak kedua futsal selesai. Napasnya terengah-engah dan rambutnya basah. Ia meraih botol minum dan menenggak minum sebanyak-banyaknya. Kedua kakinya diluruskan sebagai sesi cooling down.

"Gila, lari lo kencang amat, Han." Irfan menghampirinya dengan napas tersengal, lalu mengangkat tangan untuk high five. "Good job."

Tim Corporate Banking menang sparing melawan teman-teman dari Treasury. Selama bermain tadi, lari Raihan sangat kencang sebagai striker dan gerakannya sangat cepat dalam men-tackle bola. Tentu saja, menjadi kapten futsal sejak SMP, ia sudah terbiasa mengecoh lawan dan membaca arah permainan.

Raihan menyambut high five itu. "Minum dulu, Bang."

Senior-senior lain turut beristirahat di pinggir lapangan dan meluruskan kaki. Raihan membantu membagikan botol air mineral di kantong plastik yang biasa disiapkan setiap bermain futsal. Setelah sudah, ia kembali mengemper di bawah.

Rest AreaWhere stories live. Discover now