KM 8 - Putus Atau Terus

2.9K 524 75
                                    

"Kamu kenapa?"

Pertanyaan itu memutus lamunan Raihan dari televisi. Ibunya mengernyit heran melihat anaknya yang sudah kepala dua menonton Captain Tsubasa, kartun favoritnya semasa kecil.

Raihan melirik ibunya tak minat. Ia mengusap wajahnya, lalu menaikkan volume TV seolah memerhatikan bagian yang seru. Tentu saja kebohongan itu kentara.

"Kamu kalo ada apa-apa cerita dong sama Mama. Mama pasti mau bantu kamu." Pandangan ibunya turun ke tangan Raihan yang merah. Mulai biduran. "Masalah kerjaan?"

"Nggak."

"Teman-teman kamu?"

"Nggak."

"Indira?"

"Apaan sih, Ma."

Pertanyaan pancingan itu berhasil menangkap ikan. Seringai ambigu ibunya justru membuat Raihan semakin menyerong menjauhinya. Ia tak tahu kenapa menjadi sensitif sekali mendengar nama itu. Seperti... seperti mendengar nama musuh bebuyutan.

Tak ada yang berusaha saling kontak setelah perdebatan di taksi. Tak ada yang bicara lagi setelah meluapkan emosi masing-masing. Keduanya membangun tembok tinggi sekali, sekaligus berpikir bagaimana cara membunuh satu sama lain.

"Perkara apa?"

"Perkara pilihan yang mungkin Mama juga nggak setuju. Udahlah, Mama nggak akan ngerti."

"Justru kamu lebih baik minta pendapat ke orang terdekat, ke orang yang kamu tahu sayang sama kamu. Ke orang lain belum tentu sarannya baik. Suportif itu nggak selalu tentang setuju lho, Han. Justru karena sayang sama kamu, kita pengin ngelindungin kamu dari hal-hal yang menurut kita nggak baik," nasihatnya. "Kamu mau, setuju tapi menjerumuskan?"

'Suportif tak selalu tentang setuju'. Apa itu sama seperti saat Indira mengomel karena Raihan hendak mencari pekerjaan lain di saat ia sudah komitmen mengikuti MA? Atau mengomel karena nama Raihan akan tercoreng sekaligus harus membayar denda jika nekat keluar dari MA? Raihan tak tahu. Yang pasti adalah ia me-reject kelanjutan proses rekrutmen perusahaan O&G Australia kemarin. Karena apa? Ia tak tahu juga. Mungkin Indira ada benarnya. Mungkin.

"Kalian kan bertahun-tahun selalu bareng, nempel berdua, nggak pernah mau dipisahin. Masa salah paham sedikit berantem sampai berhari-hari? Kamu lupa? Kepisah Jakarta-Bandung aja galaunya udah kayak ditinggal dinas militer. Geuleuh atuh, Han. Papa sama Mama aja nggak pernah sampai begitu. Ih."

Anjir, Raihan mendelik. Meskipun dongkol sang ibu mengatakannya sambil bergidik geli, ia merasa... asing sekali. Apa iya dulu mereka selengket itu?

"Semua udah nggak se-simple dulu, Ma."

Semua berubah rumit dan melelahkan. Ya, hubungan percintaan, karier, masa depan, bahkan keinginannya sendiri, semua tak sesederhana duduk di depan televisi tabung menunggu opening Captain Tsubasa menjelang maghrib. Jadi jangan heran jika wajah Raihan tak secerah dulu di mana semua terasa baik-baik saja dan on track.

"Kalian sih, udah lama pacaran tapi ngapelnya malming ke mal terus kayak ABG. Jenuhin. Yang produktif, dong," komentarnya. "Lari bareng di GBK, misalnya."

***

"Halo, Adek? Adek lagi apa, tuh? Main masak-masak sama Mbak, ya? Jangan berantem sama Abang ya, Dek. Habis ini bobo ya, Nak."

Indira memandangi wajah berseri Bu Winna yang sedang ber-video call dengan anaknya. Setiap kalimat wanita itu seakan membangun sesuatu yang telah lama terkubur dan tak Indira bayangkan akan ia dengar kembali dari posisi yang berbeda.

Rest AreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang