p. adaptasi

3.5K 516 54
                                    

2020

Tidak ada yang mengira dunia akan menjadi chaos. Awalnya hanya tweets media sosial yang menyebutkan kemunculan virus aneh bernama Covid-19 di Kota Wuhan, Tiongkok, namun ditemukannya kasus pertama di Depok membuat satu negara ikut panik. Semua kegiatan dihentikan, masker dan hand sanitizer langka, sekolah hanya dari rumah, bahkan batuk sedikit di tempat umum akan dicurigai dan dijauhkan.

Indira berdesis dan melempar ponselnya ke kasur. Setiap hari ada saja berita buruk tentang bertambahnya kasus positif. Membuatnya parno setengah mati. Ia sendiri pun terdampak akibat perubahan besar ini. Sudah beberapa bulan ini kuliah dan kegiatan BEM menjadi online, membuatnya tak bisa mengatur boundaries antara kehidupan kuliah dan kegiatan rumahnya. Mentang-mentang dilakukan online pula, pengurus BEM-nya jadi senang lupa waktu saat meeting hingga mencapai jam sembilan malam. Insane.

Indira turun ke dapur untuk mengambil jus jambu. Bertepatan dengan itu, pintu rumahnya dibuka oleh Panji. Kakaknya baru pulang bekerja. Kantor-kantor saat ini sudah menerapkan setengah WFH dan WFO. Hari ini giliran Panji masuk ke kantor dan besok gilirannya kerja dari rumah lagi.

"Assalamualaikum..."

Panji memasuki rumah dengan terbatuk-batuk. Laki-laki itu melepas sepatu asal dan langsung menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu.

Indira melihat kakaknya itu terpejam di sofa tanpa repot membuka masker. "Bang, sakit?"

Panji terbatuk lagi. "Hm. Biasalah, kecapekan."

Akhir-akhir ini, tenggorokannya memang terasa sakit, bahkan hari ini ditambah tak enak badan. Badannya terasa ngilu seperti akan demam. Belum lagi hidungnya meler. Tangannya memegang keningnya sendiri. Panas.

"Pindah ke kamar aja sih, Bang." Indira menghampirinya di sofa. "Biar bisa tidur."

Panji tak menjawab beberapa saat. Napasnya kentara sekali berat. Pada akhirnya, ia bangkit dan menyeret dirinya ke kamar.

Panji adalah tipe orang yang jarang sakit. Kalaupun sakit, biasanya satu hari sudah sembuh dan balik merokok lagi sambil nongkrong dengan teman-teman. Namun, kali ini sakitnya berbeda. Awalnya, semua mengira Panji akan sembuh dalam dua hari, tetapi demam Panji masih saja naik turun sampai hari ketiga meskipun sudah ke dokter umum. Sekarang bertambah lagi, Panji tak bisa mencium bau apapun.

Beberapa gejala yang Panji alami itu membuat ayahnya curiga. "Bang, kita tes sekeluarga aja, ayo."

Jasa tes PCR dipanggil ke rumah. Satu keluarga diambil sample pengetesan.

Positif.

Panji positif tertular Covid-19, sementara keluarganya negatif. Hasil itu cukup mengejutkan karena Panji jelas berinteraksi dengan mereka sehari-hari. Ibunya yang tak terima, karena ia jelas ingin mengurus Panji yang sakit alih-alih anaknya diisolasi.

Seharusnya Panji dibawa ke Wisma Atlet, tetapi mengetahui kuota di sana sudah penuh bahkan pasien yang menunggu kloter sampai mengemper segala, orang tuanya memutuskan untuk diisolasi di rumah saja. Dengan begitu, mereka juga bisa memantau Panji.

Lantai atas terpaksa disterilkan untuk Panji seorang. Indira berpindah tidur bertiga di kamar orang tuanya untuk sementara waktu.

Yang mereka baca di Google dari pengalaman orang-orang yang positif, pasien yang tertular harus mengobati gejalanya dulu. Demam Panji berangsur membaik, meskipun batuknya masih ada. Sebentar lagi, selesailah isolasi-isolasi semacam ini yang merepotkan.

Akan tetapi, semua tak sesuai perkiraan.

Ketukan di pintu kamar membangunkan Indira dan orang tuanya. Ketukan itu terdengar lemah, tetapi terus menerus. Indira mengusap kedua matanya. Orang tuanya ikut bangun. Jam menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

Ibunya beranjak membuka pintu. Di depan pintu, berdirilah Panji yang memakai masker dan terbatuk-batuk sampai membungkuk.

"Kenapa, Nak?"

Panji tak menjawab beberapa saat. Napasnya kelihatan berat. "Sesak, Ma," keluhnya, benar-benar berusaha untuk bernapas. "Sesak banget." Ia mengusap dadanya sendiri, lalu batuk lagi.

Keesokannya, orang tuanya pontang-panting mencari tabung oksigen. Masalahnya, tabung oksigen langka. Kalaupun ada yang menyediakannya, barang itu menjadi mahal, rebutan dengan orang lain, dan diprioritaskan untuk pasien lansia. Selama tabung oksigen belum ada, Panji hanya bisa tidur dengan posisi duduk.

"Nih! Nih! Teman Papa ada, Bang!"

Ayahnya berseru heboh ketika dua tabung oksigen kecil akhirnya datang setelah dua hari. Itu pun karena ia memiliki koneksi bagus ke supplier.

Panji memakai selang oksigen di hidungnya. Yang sebelumnya ia tak bisa tidur sama sekali setiap malam, kini ia sudah bisa tidur walaupun tetap dalam posisi duduk. Melihatnya sudah agak tenang, Indira dan orang tuanya pun ikut lega.

Selesai sampai di situ? Tidak.

Panji merasa lebih sesak lagi dari waktu ke waktu. Ia kesulitan bernapas. Tabung oksigen kecil tidak membantu sama sekali meski volume arus oksigen sudah diatur ke paling besar. Tidak ada tabung oksigen besar yang tersedia. Satu-satunya jalan adalah ia harus ke rumah sakit.

Panji hanya bisa dibawa dengan ambulans. Kendala lainnya, tidak ada ambulans yang tersedia karena sibuk bolak-balik menjemput pasien positif lainnya. Beruntung, ayahnya lagi-lagi memiliki koneksi. Mereka berhasil mendapatkan ambulans yang merupakan milik suatu partai. Panji pun dibawa ke rumah sakit.

Tentu, ada kendala lain lagi.

Kuota pasien rumah sakit membeludak. Semua pun tahu tenaga kesehatan kewalahan bukan main menangani pasien positif yang terus bertambah setiap hari. Mondar-mandir mereka mencari rumah sakit yang bisa menampung. Mereka berakhir di RS Duren Sawit yang sebenarnya sama penuhnya dengan rumah sakit lain. Panji, yang mendapat kloter agak akhir, dibawa ke ruang isolasi.

"IBU ENGGAK BOLEH IKUT, BU!"

Suster yang hendak membawa Panji memarahi ibunya karena ingin ikut masuk, cenderung membentak bahkan. Banyak keluarga pasien bersikeras ingin melakukan hal sama sebelumnya.

"INI ISINYA POSITIF SEMUA!"

"YA, TAPI KAN SAYA MAU NGURUS ANAK SAYA!" Ibunya tak kalah keras. Memang ia tahu tak boleh masuk, tapi naluri seorang ibu tak bisa dilawan. Jika ia harus menghirup udara di ruang isolasi itu dalam-dalam, maka ia akan melakukannya. "NANTI SIAPA YANG NGURUS ANAK SAYA?!"

"IBU KALO IKUT MASUK, NANTI KETULARAN!"

"SAYA ENGGAK PEDULI."

Mereka berakhir adu mulut dan bersitegang, namun Indira dan ayahnya menarik ibunya untuk mengalah saja. Kondisinya memang seperti ini. Tak ada yang bisa dilakukan selain bersabar.

Indira melihat nanar Panji yang dibawa ke ruang isolasi. Bed yang membawa kakaknya itu perlahan menjauh dan hilang di balik pintu. Kakaknya bergabung dengan pasien-pasien positif lainnya.

Saat itu ia yakin, Panji tak akan berlama-lama di sana. Panji pasti akan cepat sembuh dan pulang. Kakaknya akan kembali mengusilinya di rumah. Ya, seperti biasa lagi.

***

Rest AreaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang