n. setapak sriwedari.

2.2K 438 38
                                    

2018

Indira sontak terbahak begitu wajah Raihan muncul di layarnya dengan keadaan sudah berubah. Rambut Raihan memanjang, bahkan bisa dikuncir. Lelaki itu membiarkan kumis tipisnya tumbuh. Tipikal anak teknik sekaligus anak rantau, tak memedulikan penampilan karena bisa bertahan hidup saja sudah bagus.

"Ganteng kan, Ra?" Raihan menyeringai. Lelaki itu terus menyalakan kamera sembari berjalan pulang menuju kos.

"Iiih, enggak. Kayak gembel."

"Belum tahu aja siapa yang dapat angket terganteng di HIMA."

"Yailah." Indira menarik handle pintu mobil saat sopirnya sudah datang untuk menjemput. "Ganteng enggak dibawa mati."

"Yeeee, ngomong sembarangan aja." Raihan melongok melihat Indira masuk ke mobil. "Mau ke mana sih, Ra? Baru pulang kuliah?"

"Taman Anggrek. Tiba-tiba BM Sour Sally sama Shihlin." Indira bertopang dagu di jendela kanan. Mobil melaju keluar dari area kampus.

"Duh, anak Kemanggisan hedon amat pulang kampus ngemal." Raihan menyalakan lampu kamar.

"Apa, sih."

"Kamu setiap pulang kampus gini-gini aja? Kuliah, pulang, kuliah, pulang?"

"Iya."

"Cari kegiatan dong, Ra. Ikut organisasi apa, kek. Sayang tahu kalo jadi kupu-kupu. Harusnya pas kuliah gini kamu banyak-banyakin portofolio. Ikut BEM, magang. Biar di-notice waktu ngelamar kerja. Sekalian bisa perluas networking juga." Raihan melepas tasnya dan menghempaskan dirinya ke tempat tidur. "Ya?"

"Takut enggak bisa bagi waktu kuliah, Yan."

"Justru di situ kamu bakal belajar. Ya, keselip bolos dikit pas awal enggak apa-apalah, namanya juga baru pertama kali."

"Iya, sih." Indira mengerutkan sudut mulutnya.

"Gini, deh. Kalo kamu ikut organisasi, kamu mau minta apa?" Raihan bertanya. "Nanti aku kasih. Apapun itu. Demi Indira."

Indira tertawa. "Apa sih, Yan, lo kayak bapak gue aja!"

"Lah, kan gue daddy lo, Ra."

"Najis."

"Cepatan. Apa?"

"Aku mau..." Indira berpikir-pikir. "Kamu potong rambut."

"JANGAN ITU, DONG."

"Katanya apa ajaaaaa."

"Emang kenapa, sih?! Keren tahu." Raihan mengibaskan rambutnya yang panjang, semakin membuat Indira geli.

"Geleuh, Yan. Serius."

"Ini namanya seni."

Indira terbahak karena Raihan masih saja membela diri. Lagipula ia sendiri pun yakin, meski dengan janji hadiah seperti itu, ia tak akan mendaftar organisasi sosial apapun itu.

"Payah lo, Yan. Ngasih janji setengah-setengah."

"Yaudah, iyeee, iyeeee. Gue potong rambut." Raihan berkata tak ikhlas. "Demi lo ya, Ra. Demi lo."

Indira menyeringai. "Yaudah, sana istirahat dulu, Yan. See you later."

"Hm."

Indira terbahak seraya memutus sambungan telepon. Ia pun beralih menge-scroll Instragam.

Matanya menangkap pendaftaran BEM di post akun Instagram BEM kampusnya. Indira terkekeh seraya lanjut menge-scroll. Mana mungkin anak rebahan sepertinya mampu aktif organisasi universitas begitu. Yang ada ia tepar hanya demi portofolio diri yang kata Raihan mampu membantu cepat mendapat kerja.

Indira mengerutkan sudut mulutnya, termenung melihat post lain yang sebenarnya tak ia fokuskan. Ia kembali pada post BEM tadi, melihat sampai kapan periode pendaftaran itu dibuka.

***

Raihan patut merasa dongkol. Ia mendengus, melihat wajah pacarnya di ponsel yang sedang memamerkan Whatsapp resmi diterimanya ia sebagai anggota BEM. Kontras dengan wajah Indira yang menyeringai bahagia, Raihan tak merasa bahagia sama sekali pacarnya itu tergerak untuk keluar dari zona nyaman. Tidak di saat ia harus memegang clipper di depan cermin saat ini.

"Demi lo ya, Ra..." Raihan menggeram. "Demi lo, gue ngelakuin ini!"

"Ayo, ayo, mulai, Yan." Indira menekan record screen di ponselnya.

Raihan mendengus. Ia mulai mengangkat clipper itu menuju rambutnya perlahan, namun dengan penuh keraguan, menurunkannya lagi.

"Sayang, ini tuh seni..." Raihan masih membela diri.

"Dasar cowok omdo. Kemarin janji-janji tapi sekarang alasan enggak mau nepatin." Indira mencibir.

Raihan berdesis. Ia mengambil clipper-nya lagi, kali ini membulatkan tekad untuk memotong rambut. Lelaki itu pun mendekatkannya ke rambut samping. Dalam hitungan detik, beberapa senti rambut sampingnya pun terpotong. Raihan meneruskannya dengan rute yang semakin naik, hingga Indira berseru.

"Stop!"

Seruan Indira menghentikan Raihan.

"Udah, segitu aja."

"Apa?"

"Iya, potong segitu aja."

"Hah?" Raihan melihat horor rambutnya di cermin. "Pitak?"

"Iya."

"ATUHLAH, RA..."

Indira terbahak. "Jangan dirapihin ke barber dalam seminggu ke depan, ya."

Raihan meraih ponselnya dan mengumpat-ngumpat di depan kamera, membuat Indira semakin terbahak di tempat tidur. Meski begitu, Raihan menepati janjinya untuk tak merapikan rambut hingga seminggu ke depan. Menjadi bahan bercandaan teman-temannya sudah jadi asupan sehari-hari yang mampu membuat Indira terguling-guling setiap mereka video call. Demi Indira senang, Raihan rela melakukan itu.

Dan mungkin kini, demi Indira bahagia, Raihan juga rela melangkah mundur

***

Rest AreaWhere stories live. Discover now