i. dia sempurna.

2.3K 410 31
                                    

2015

"Kenapa kamu pakai sepatu putih?! Kan kamu tahu kalo di peraturan, semua harus pakai sepatu hitam. Nggak bisa baca, ya? Perlu didiktein?!"

Pertanyaan bernada nyelekit Sasha sukses membuat anak baru berpita warna-warni ciut. Apalagi dengan backing-an Dhito yang sedang melihat anak itu penuh ancaman.

"AYO, JAWAB."

"S-s-salah ambil sepatu, Kak..."

"Salah, salah. Bilang aja lo nyepelein hari terakhir MOS, jadi lo seenaknya nggak mau tunduk sama aturan. Udah ngerasa hebat lo, ya? Mau jadi anak baru songong di sini?" timpal Dhito.

"Ng-nggak kok, Kak..."

"Ngejawab lagi." Dhito melihatnya kesal. "Kita hukum aja nggak sih, Kak Sasha?"

"Jalan jongkok dari lantai satu ke lantai tiga bolak-balik kayaknya asyik deh, Kak." Sasha mengompori, tak memedulikan raut takut adik kelasnya. "Yok, langsung!"

"Ayoook~"

"K-k-kakak, jangan..."

"Sha, To."

Baru saja Sasha dan Dhito ingin menyeret lengan anak itu, seseorang menepuk pundak mereka dari belakang.

"Nggak usah terlalu begitu lah, kasihan anak orang." Raihan berkata iba. "Maafin aja udah."

"Nggak bisa dong, Han, nanti dia seenak jidat kalo nggak ditegasin dari awal. Nggak suka gue anak baru macam gini." Sasha menolak.

"Sha, dua jam lagi MOS kelar. Cukup diingatin baik-baik, nggak usah pakai hukuman. Kalo dia pingsan, OSIS juga yang repot. Kalian nggak mau kan gendong anak orang dari lantai tiga ke lantai satu?"

Sasha dan Dhito saling lirik, lalu beralih ke anak baru yang berbinar melihat Raihan, bak melihat pangeran berkuda putih sebagai penyelamatnya. Mereka berdua berdecak.

"Yaudeh, jangan diulang lagi. Awas lo." Sasha merelakannya pergi.

"Belajar yang bener lo di sini." Dhito menimpali.

"Makasih ya, Kak Raihan. Makasih banyak." Anak itu menunduk-nunduk sopan kepada Raihan. Kedua matanya hilang saking senangnya dibela oleh Raihan.

Raihan tersenyum. "Iya, sama-sama."

Anak itu lalu kabur secepat mungkin dari dua genderuwo. Kejadian ini akan diceritakan ke teman-temannya karena akhirnya, ia jadi salah satu anak MOS yang dibela Raihan juga.

"Ah, lo mah nggak asyik, Han!" sorak Dhito kecewa. "Gue masih pengin lihat muka paniknya!"

"Iya! Lo selalu gitu, Han. Manjain anak baru banget." Sasha cemberut.

"Ngedidik nggak perlu pakai kekerasan, kan? Apalagi dikasih hukuman nggak nyambung yang cuma bikin orang lain takut, bukan jadi paham dan teredukasi."

Jika ada pertanyaan siapa anak OSIS yang paling disukai, jawabannya semua sama: Raihan. Kontras dengan anak OSIS galak, killer, dan bertanduk empat, Raihan tak pernah marah apalagi membentak. Justru, ia ramah, lembut, dan lucu jika sedang memimpin kelas MOS berdua dengan Gara. Meskipun bukan Ketua OSIS, namanya lebih dikenal di antara anak-anak baru.

"Anjir, lah!" Dhito menghempaskan lembaran angket tanda menyerah. "Ini mah bukan angket, tapi pemilihan presiden! Semua jawabannya Raihan!"

Gara membaca hasil angket dari anak-anak MOS. "Kakak terganteng: Kak Raihan, kakak terbaik: Kak Raihan, kakak terlucu: Kak Raihan, kakak terbijak: Kak Raihan, kakak teramah: Kak Raihan. Naaah, ini ada nih yang bukan Raihan!"

"Apaan? Tercantik?" Raihan, dengan blazer OSIS tersampir di pundak, datang dan menaruh es teh di meja ruang OSIS.

"Kakak tergalak: Kak Sasha sama Kak Dhito. Dua-duanya seri."

"Sialaaan!" protes Sasha.

"Udeh, lo pilih dah tuh, Han, mau menang angket yang mana. Terserah lo." Dhito berkata. "Gue masih dapat surat cinta aja alhamdulilah."

Raihan terbahak. "Kampret, kenapa jadi gue milih sendiri?" Ia menarik bangku dan duduk di samping Gara. "Jangan gitu, lah. Sama-sama kita."

Sasha menyeringai melihat Raihan. "Omong-omong, lo kemanain tuh surat cinta dari adik-adik? Yang sampai satu box penuh?"

"Ada. Di kamar."

"Udah dibaca?"

"Kayaknya. Nggak tahu. Lupa gue." Raihan mengambil hasil angket, menimbang-nimbang memilih kategori apa.

"Lah? Gimana? Lo yang punya, lo yang lupa?"

"Lupa gue, Sha. Kemarin gue main PS pas Indira bacain satu-satu di rumah bareng Mama. Mereka ngakak aja berdua, gue kira lagi gosip."

Raihan menaruh lembar hasil angket.

"Gue pilih angket yang mana aja. Asal jangan yang terganteng." Raihan menjawab final.

"Kenapa?"

"Karena Indira nggak ada di OSIS. Gue cuma mau jadi terganteng kalo dia jadi yang tercantik."

***

"Pacarnya Kak Raihan katanya yang ponian itu. Namanya Indira."

"Biasa aja ceweknya. Kirain kayak kakak-kakak populer yang rambutnya badai bekas jeday."

"Masa kapten futsal ceweknya kayak gitu? Bohong kali! Kemarin-kemarin gue nggak pernah lihat dia di sekolah ini."

"Benar! Orang di Snapchat-nya Kak Raihan malming bareng terus. Foto pake filter anjing berdua terus!"

"Pucat banget mukanya. Emang Tuhan tuh Maha Adil, ya."

Bisikan-bisikan itu tertangkap telinga Indira saat ia lewat di koridor kelas sepuluh. Semua mata tertuju padanya, apalagi anak-anak perempuan.

Tak hanya di kalangan kakak kelas, guru, dan teman seangkatan, adik-adik kelas banyak yang mengidolakan Raihan. Raihan tambah mencuri perhatian karena ia jadi kapten futsal juga. Tahu apa yang lebih gila? Raihan juga ikut ekskul band sebagai vokalis dan seminggu ini sedang persiapan manggung di Pensi.

Indira menengok belakang sekali lagi, sebelum berbelok menuju tangga. Ia melihat mading penuh oleh anak-anak yang sedang melihat poster Pensi. Maka, Indira sengaja menunggu mading sepi dari manusia, baru melihat poster.

"Eh, Raihan! Ada bini lo, tuh!"

Suara Calvin menggelegar hingga membuat Indira menengok. Raihan, Calvin, Gara, dan Dhito baru saja selesai latihan di studio ruang musik. Raihan menyeringai cerah. Ia lekas berlari menghampiri Indira.

"Oy, cewek," sapa Raihan iseng. "Ke mane aje? Seharian nggak kelihatan."

Indira melihat ke sekitar terlebih dulu, lalu tersenyum saja membalas sapaan itu.

"Kamu tuh kalo udah siang, jangan kelihatan stres belajarnya, doong." Raihan mengulurkan tangan. "Sini, sini. Aku rapihin pakai ludah."

Indira lebih dulu menghindar saat Raihan ingin merapikan rambutnya.

Raihan tertawa. "Bercanda, Ra! Aku rapihin doang, kok. Sini."

Tepat sekali, Sasha muncul dari tangga. Tanpa ba-bi-bu lagi, Indira lekas menggandeng Sasha.

"Sha, beli cilor, yuk."

Kemudian mereka berdua pergi ke kantin, tak memedulikan Raihan yang membatu karena ditinggal begitu saja.

***

Raihan Najong
Ra, nanti pulang bareng aku, ya. Jangan dijemput sopir.

Begitu pesan LINE yang diterima oleh Indira. Pesan itu hanya dibaca olehnya. Setengah jam lebih Raihan setia menunggu di motornya, Indira rupanya tak muncul juga.

***

Rest AreaWhere stories live. Discover now