KM 3 - Cinta Sederhana

3.9K 581 66
                                    

"Bank?!"

Nada tinggi lah yang pertama keluar dari mulut ayah Raihan.

"Kamu terima offering bank?!"

Wajahnya merah karena murka, hampir setara dengan ibunya saat ini. Bedanya, sang ibu tak semeledak ayahnya.

"Papa enggak setuju kamu kerja di tempat riba begitu! Kamu batalin offering-nya! Tempat lain kan masih banyak!!!"

"Enggak bisa, Pa! Ikatan dinasnya tiga tahun. Keluar sebelum itu harus bayar denda ratusan juta!" Raihan berkata dengan nada tinggi mengikutinya.

"Lagipula kamu ini kan anak Perminyakan! Anak teknik! Kampus top pula! Capek-capek Papa kuliahin kamu di PTN bagus, begitu lulus kok malah kerja di bank?! Kamu daftar lah Pertamina atau Shell! Kenapa harus ke bank?!"

Hell, memangnya lulusan Teknik Perminyakan satu orang saja?! Sepertinya tujuan utama seluruh anak Teknik Perminyakan adalah perusahaan-perusahaan yang semua orang pun sudah tahu namanya.

"Pa, enggak semuanya bisa segampang membalik telapak tangan cuma karena lulus dari PTN top! Senior-seniorku pun banyak yang kerja di bank, bahkan dari jurusan lain!"

"Dan Papa enggak suka kamu jadi salah satunya!"

Mata ayah Raihan berapi-api di balik kacamata jadulnya.

"Apa cuma bank yang mau nerima lulusan FTTM kayak kamu?! Cuma karena senior-senior kamu kerja di bank, bukan berarti kamu harus kayak mereka dengan cari pelarian kerja di bank, kan?!"

Sebuah gebrakan meja mengakhiri bentakan keras tersebut, membuat ibu Raihan mengusap pundak suaminya agar lebih tenang. Raihan merasakan dadanya naik turun dengan napas memburu mendengar rentetan omelan ayahnya.

Tak usah ayahnya, ia sendiri pun tak mau semua menjadi seperti ini jika bukan karena waktu yang tak tepat. Bukan tanpa alasan ia menerima offering Bank Nasional, ia sudah pesimistis sekali dengan Denver Petroleum karena tak ada kabar apapun berhari-hari kemudian. Parahnya, kabar baik dari Denver itu rupanya datang setelah Raihan menandatangani kontrak dengan Bank Nasional—hanya selisih satu jam. Emosinya yang tersulut bak disiram lagi dengan minyak tanah saat ayahnya marah bukan main mengetahui anaknya mengambil 'jalan pintas' dengan kerja di bank.

Raihan memang tak mau memilih jalan ini, tetapi di matanya, ini adalah pilihan terakhir mengingat senior-seniornya pun banyak memilih jalan yang sama.

"Enggak perlu perusahaan migas asing, perusahaan migas lokal kan masih banyak! Asalkan ilmu kamu itu kepakai!!"

Perusahaan gas lokal yang menawarkan salary rendah itu?

Raihan mendecih. Yang benar saja.

***

"Kamu udah cari-cari lagi, Dir?"

Entah sudah berapa kali pertanyaan itu terlontar setiap pagi.

"Kalo masih magang mah enggak apa-apa keluar sebelum waktunya. Tapi bilangnya baik-baik. 'Pak atau Bu, maaf ya saya—"

"Mama kenapa sih nyuruh keluar mulu?!" Indira menutup lemarinya sedikit kasar. "Papa aja enggak masalah kalo Indira intern dulu. Lagian zaman sekarang emang ada yang mau nerima freshgrad benar-benar nol? Jadi budak korporat paling jongos aja harus punya spek dewa!"

Indira jelas kesal. Bagaimana tidak? Yang ibunya terus bicarakan sejak berhari-hari lalu adalah 'cari lagi', 'ini ada loker', 'keluar baik-baik'. Ia tak berniat untuk keluar sebelum waktunya. Berbeda dengan sang ibu, ayahnya mendukung saja ia merintis dari bawah.

Rest AreaWhere stories live. Discover now