Part: 39

688 14 0
                                    

JANGAN LUPA!

Follow Instagram: @rembulan.wp
(ganti username)
Wattpad: @pena_rembulan
TikTok: story.rembulan_
.
.
.
.
.
.
.
Typo tandain!

☄️Happy Reading☄️

Kegelapan mengambil alih kali ini, sinar rembulan kembali menemani. Berbeda dengan sebelumnya, tampak tiada bintang di sejuknya malam.
Duduk diam tanpa ingin menyapa adalah hal yang menenangkan, netraku memandangi langit, kembali aku dapat membayangkan alur waktu dahulu walau singkat.

Ketika sinar rembulan memperlihatkan wujudnya, aku melepas senyum sebagai penenang diri. Tidak, maksudku lebih ada rasa lega dan damai setelah sekian waktu terlupakan sejenak. Aku suka saat hanya sendiri, tanpa ingin orang tahu aku berdiam diri di sini. Duduk sembari menatap angkasa, keindahan mereka memang tidak selamanya, tetapi kenangan ketika berjumpa tidak akan terlupa. Terkadang mereka tak selalu sama, kadang ada, kadang tiada, berbagai waktu belum tentu aku bertemu. Meluangkan banyaknya kesenjangan ketika malam adalah hal yang menyenangkan, tentu dengan segelas kopi hangat sebagai teman.

“Hafizha.” menyadari ada yang datang menghampiriku, aku sedikit bergeser dari bangku panjang itu.

“Duduk,Yah,” ujar ku memberikan celah untuk ia duduk tepat di sampingku.

Aku melihat ayah mengangguk lalu ikut duduk di bangku panjang yang terdapat di halaman belakang rumah ini. Malam ini setelah seminggu yang lalu aku dinyatakan pulih dan diperbolehkan untuk pulang, aku sekarang berada di rumah yang dahulu ditempati oleh Ayah dan mendiang Mama.
Sejujurnya aku yang menginginkan ini, ingin bersama ayah, mengenang waktu bersamanya.
Awalnya Papa tidak mengijinkan, mengingat kondisi ku yang baru pulih, tetapi tiga hari setelah menginap sementara di rumah Papa aku memutuskan untuk pergi sejenak bersama Ayah, dan Ayah mengajak ku ke tempat ini. Tempat di mana banyak kenangan tercipta bersama mendiang Mama, katanya.

Rumah ini cukup sederhana, sedikit jauh dari hiruk-pikuk kota. Halaman yang luas, suasana yang asri dan damai. Aku menyukainya. Kata Ayah tempat ini sudah lama tidak ditempati, tapi selalu dibersihkan hampir setiap hari, Ayah meminta seseorang datang membersihkannya.

“Tidak dingin, Nak?” tanyanya ketika melihat ku tidak memakai pakaian hangat, mengingat cuaca malam ini cukup sejuk.

Aku menggeleng pelan, baru menjawab pertanyaannya,
“Lebih suka seperti ini, Yah,” balasku.

Pikiran ku berkelana disela keheningan melanda malam sepi ini, mengingat kembali bagaimana  rasa canggung yang kudapatkan ketika bertemu dengannya, bahkan rasa canggung itu masih terasa hingga sekarang walau sudah sedikit tersamarkan. Jujur banyak pertanyaan yang ingin aku tanya kepadanya, tetapi aku hanya bingung ingin memulai dari mana, juga aku takut menemukan fakta-fakta lain yang mungkin akan mengejutkan bagiku. Fakta baru ini saja masih terasa seperti mimpi, aku tidak pernah membayangkan hidupku terlalu banyak plot twist terjadi.

“Zahwa. Apa boleh saya memanggilmu dengan panggilan itu?” aku sedikit tertegun mendengar pertanyaan darinya.

“Kenapa harus, Zahwa?” panggilan 'Zahwa' sering diucapkan ketika aku masih SMA, mereka mengenal ku dengan nama itu, bukan Hafizha. Sudah lama aku tidak mendengar orang-orang mengucapkan nama itu untuk memanggilku, terakhir kali sebulan yang lalu.

Dia, Hafizha (ENDING) Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ