Part: 16

584 16 0
                                    

🌵Jangan lupa follow
Instagram:
@wattpad_rembulan🌵
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
🎀Happy Reading🎀

"Papa!"

"Saya, duduk sini, Zha. Temani Papa," balas Ryan sesaat ketika melihat putrinya menghampirinya.

"Bunda mana, Pa?" Hafizha duduk setelah meletakkan kopi dan susu yang ia bawa di atas meja.

"Masih dirumah sakit, katanya ada operasi dadakan." Hafizha mengangguk mengerti. Ia sudah lama mengatahui jika Bunda nya itu adalah seorang dokter bedah, jadi tidak heran jika Sasa terkadang pulang agak larut malam.

Hafizha melihat sang Papa yang begitu fokus terhadap laptop nya, pekerjaan kantor memang paling utama. Gadis itu juga hanya diam, seraya meminum teh hangat yang ia buat tadi.

"Fizha, itu tidak pakai gula kan?" celetukan Ryan menyadarkan Hafizha dari keterdiamannya.

"Enggak, Pa. Pakai madu ini." Hafizha menunjukkan gelas miliknya pada sang Papa.

"Bagus, jaga kesehatan mu, Zha." setelah mengatakan itu Ryan kembali memfokuskan dirinya pada laptop.

Sedangkan Hafizha hanya bisa diam sebari menatap kegiatan Papanya itu.
Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di benaknya, ia merasa ini waktu yang tepat untuk bertanya pada orang di sampingnya ini.

"Pa,"

"Hmm?"

Terdiam sejenak, gadis itu menimang apakah dia harus menanyakan ini, tapi jika tidak ia akan penasaran.

"Kok diam, ada yang mau ditanyakan?" kini Ryan menatap wajah putrinya itu, ia mengelus kepala anak perempuannya dengan lembut.

"Gini, kalau misal terjadi sesuatu dengan perusahaan Papa terus ada seseorang yang menawarkan bantuan, tapi dengan syarat harus menjodohkan anaknya. Apa yang bakal Papa lakukan?" Hafizha bertanya seperti ini karena ia sangat mengerti sepenting apa perusahaan bagi sang Papa. Ia ingin mengatahui jawabannya, apapun itu, ia tidak peduli jika itu akan menyakitkan nantinya, ia terlanjur penasaran.

Ryan sedikit terkejut mendengar perkataan dari anaknya itu, terkadang ia tidak bisa menebak isi dari pikiran gadis itu.
Hafizha selalu saja mengejutkan Ryan dengan hal-hal yang dilakukannya, anak satu-satunya ini begitu unik.

"Papa jawab nih?" mendapatkan anggukkan dari sang Putri, Ryan pun berpikir sejenak memantapkan kata-kata yang akan ia ucapkan nanti.

"Kalau misal hal itu terjadi, Papa bakal membiarkan perusahaan Papa bangkrut, daripada harus menjodohkan putri Papa dengan rekan bisnis. Pilihan untuk menerima perjodohan itu adalah hal buruk, bukankah sama saja dengan begitu dia menjual anaknya? Papa sama Mama berjuang rawat kamu dari bayi sampai sekarang, dan mau di jodohkan? Itu nggak akan terjadi. Mau apapun pilihannya Papa tidak akan pernah menjodohkan mu, biar kamu yang memilih pasanganmu nantinya. Papa tau, sangat tau bagaimana rasanya dijodohkan, itu tidak mudah. Cukup Papa yang merasakan, putri Papa jangan." Hafizha mengerjapkan matanya, ia sedikit tidak menyangka atas jawaban sang Papa. Ini setelah sekian lama ia dapat mendengar Papanya mengucapkan kalimat panjang.

'Terharu gue.'

"Sayang Papa banyak-banyak." Ryan terkekeh pelan mendengar perkataan Hafizha, lalu ia menerima pelukan dari putrinya itu.

•••

Keesokan harinya Hafizha sudah berada di perpustakaan miliknya itu. Ya, hari ini adalah hari dimana tempat itu di buka. Hafizha serta tim mempersiapkan dengan sangat antusias, perpustakaan ini akan ia buka secara umum, ia tidak sabar menantikan ketika ia bisa melihat banyak orang yang datang ke sini untuk mencari ilmu dengan membaca buku. Ia tidak sabar menantikan anak-anak datang untuk belajar di sini, akhirnya penantian sekian lama akan terpenuhi hari ini.

Hafizha sudah menyiapkan berbagai hal, salah satunya brosur yang telah ia bagikan semalam bersama Haura dan timnya.
Jika di lihat sudah lumayan ramai orang berdatangan, lebih mendominasikan mahasiswi dan mahasiswa. Letak strategis perpustakaan ini di dekat kampus Hafizha, dengan ini lebih memudahkan anak muda menemukannya, secara perpustakaan ini berseberangan dengan kampusnya.

Dengan suasana asri di bagian depan, Hafizha sengaja membuat rumah membaca ini memiliki halaman yang luas. Ia juga meletakkan bangku-bangku kayu dan ayunan di sana. Selain asri halaman ini juga teduh, karena banyak pepohonan yang sudah lumayan besar tumbuh.

Jam sudah menunjukkan pukul 09.45 Am yang berarti lima menit lagi acara ini akan di mulai.

Melihat persiapannya sudah matang, Hafizha berjalan ke arah pintu masuk. Di sana sudah terpasang tali pita panjang berwarna merah yang saling terikat dari sisi yang berbeda.

Semua orang yang hadir mengikuti langkahnya, begitu pula Haura yang berada di sampingnya. Gadis itu tersenyum melihat temannya yang masih sempat meluangkan waktu untuk acara kecil-kecilan ini. Dia sangat bersyukur bisa menemukan teman sebaik Haura.

Haura membawa nampan berisi gunting yang telah dihiasi sedemikian rupa.

Lima menit berlalu, Haura menyerahkan gunting itu pada Hafizha.

Melihat itu Hafizha mengambilnya, dengan doa yang telah ia ucapkan dalam hati, gadis itu berkata, "Bismillaah..." dengan perlahan ia menggenggam pita merah itu, lalu mengguntingnya hingga terputus.

Suara tepukkan tangan terdengar nyaring di halaman ini, ucapan selamat juga di terima oleh Hafizha. Gadis itu meletakkan kembali guntingnya di atas nampan, lalu berbalik badan. Di sana ia dapat melihat sang Papa dan Bundanya bertepuk tangan, ia juga melihat para tim serta pengunjung ikut memeriahkan.

Menerima mic yang di berikan Haura, salam pembuka ia ucapkan.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,"

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." jawab mereka yang ada di sana.

"Saya mengucapkan terimakasih terutama untuk Papa dan Bunda saya yang sudah datang, dan tim yang ikut terlibat atas persiapan ini, serta untuk teman terbaik saya yang selalu ada bersama saya, terimakasih banyak. Terimakasih juga untuk para pengunjung yang telah menyempatkan waktu untuk datang ke acara ini, semoga dengan dibukanya perpustakaan ini akan menjadi tempat untuk mendapatkan ilmu dengan buku-buku yang ada di sini." Hafizha tersenyum tipis.

"Rumah baca, jadikan tempat ini sebagai tempat nyaman bagi kalian semua, perpustakaan ini resmi di buka!" Hafizha menepuk tangan nya, lalu ia membuka pintu masuk dan mempersilahkan para pengunjung untuk memasuki tempat itu.

Ryan dan Sasa berjalan mendekati Hafizha, Ryan mengelus kepala putrinya yang terbalut hijab itu.
"Papa bangga dengan mu, Fizha. Papa mendukung segala impian yang kamu inginkan."

"Thank you, Papa." Hafizha memeluk kedua paruh baya itu.

Sedangkan di tempatnya seorang paruh baya tersenyum haru melihat pemandangan di depannya, ia merasa senang melihat kejadian itu.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
•••
Bersambung
•••

900+ words

Typo tandain!
Terimakasih.

Dia, Hafizha (ENDING) Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum