Part: 36

530 14 2
                                    

JANGAN LUPA!

Follow Instagram: @rembulan.wp
(ganti username)
Wattpad: @pena_rembulan
TikTok: story.rembulan_
.
.
.
.
.
.
.
Typo tandain!

🍀Happy Reading🍀


Dengan gemetar wanita itu mencoba menjelaskan, "Atha, N-adira terjebak di dalam sana. Mereka bertiga di sana. Selamatkan, Umi mohon." Maryam menunjuk ke arah kobaran api itu, tapi ia sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari sang Putra.

Mendengar itu Atha segera berdiri, ia menatap lekat api yang menyala itu. Bagian depan terlihat sudah sangat parah, sejenak pertanyaan muncul dalam pikirannya,
'apakah masih ada harapan?'

"Umi, tenang. Atha akan mencoba untuk membantu," ucap pemuda itu tak lagi menatap depan.

Sedangkan Malik mengernyit heran, apa maksud perkataan putranya ini? Ia rasa Atha tidak mungkin salah dalam memilih kata. Membantu? Seperti mereka yang menyiram air? Tidak, Malik rasa bukan itu arti dari kata 'membantu' yang diucapkan putra bungsunya itu.

Melihat pergerakkan dari putranya, sekarang Malik menyadari apa maksud dari perkataannya tadi. Dengan segera ia mencegahnya, laki-laki paruh baya itu menahan tangan Atha kuat.

"Tidak! Gunakan akal sehat untuk saat ini, Atha. Kamu pikir dengan masuk ke dalam tidak membahayakan nyawamu?! Jangan menambah hal yang tidak berguna, Abi tidak setuju dengan tindakanmu ini, tetap dalam posisimu!" tampik Malik menatap tajam putranya.

"Atha, benar kata Abi mu. Tenanglah, kita tunggu petugas," sahut Faranda menengahi.

Atha hanya mengangguk lemah sebagai balasan. Ia kembali berjongkok menghadap sang Umi, tidak lagi memedulikan jubah putih miliknya kotor.
"Umi, tenang, semua akan baik-baik aja. Sekarang kita kembali ke Ndalem, ya?"

Maryam menggeleng, ia memegang lengan putranya.
"Tidak, Umi akan tetap di sini sampai Nadira keluar dari tempat itu dengan selamat," balas Maryam tegas.

"Umi, tap__" merasakan tepukan di bahunya, pemuda itu menoleh ke arah sang Abi. Atha hanya mengangguk melihat Abinya mengisyaratkan untuk diam dan membiarkan.

•••

Hafizha menatap sekililing nya, matanya yang sudah sedikit memburam itu berusaha untuk tetap terbuka. Rasa pening dan juga sakit kadang membuat gadis itu meringis pelan. Bagaimana pun ia harus bisa keluar dari tempat ini, Hafizha yakin dengan ia berusaha ia akan menemukannya.

Beberapa menit berlalu tak terasa, gempulan asap semakin tak mau reda. Hafizha ingat ia meninggalkan dua perempuan, ia harus bisa menjemput mereka, tapi bagaimana? Sedangkan ia belum juga menemukan celah keluar.

Ia tak tahu dengan jelas denah dapur ini, ia hanya merasa ingin memarahi sang pembuat dapur ini, bagaimana bisa tidak ada jendela atau pintu di bagian belakang? Hanya pentilasi yang terbuat dari kayu di bagian atas.

Menopang tubuhnya dengan berpengang pada sebuah meja, Hafizha kini merasakan pening teramat sangat.

Nggak, bukan seperti ini Hafizha!

Dia, Hafizha (ENDING) Where stories live. Discover now