Part: 21

516 18 0
                                    

Happy Reading

1















2












3

Siap?

"Menyadari bahwa kau ada di dekatku membuat hati ku bahagia, ingin rasanya aku menyapa mu dan mengatakan semua perasaan ini, tetapi itu hanya angan. Bagaimana bisa aku melakukan semua hal itu jika menatap mata mu saja rasa malu terus datang."

~Atha~

...


Kali ini terlihat sangat menajubkan, bagaimana tidak? Malam ini amat indah diterangi lentera dan obor di sepanjang jalan, baik dari sisi kanan maupun kiri semua terbagi sama. Sama-sama indah, juga ditemani dengan gemerlap bintang yang menampakkan wujudnya, bulan sabit yang menjadi ketua dari cahaya penerang ini.

Setelah selesai melaksanakan sholat isya berjamaah kini Hafizha beserta beberapa santriwati terlihat sedang berjalan menuju asrama. Mereka yang terdiri dari lima orang itu berbincang dan sesekali tertawa pelan. Diantara yang lain mereka berlima yang pulang lebih lambat, karena mendapatkan amanah yaitu piket masjid, tidak terlalu lama, tetapi karena ada Hafizha mereka jadi ingin  berlama-lama.

Hafizha yang saat itu masih bingung mencari teman, apalagi mereka bukan sebaya, jadi ia hanya ikut saja karena kebetulan mereka semua teman satu asrama. Setelah saling mengenal walau hanya singkat, padat, jelas, setidaknya sekarang mereka sudah mulai sedikit berbaur.

Sempat Hafizha bertanya mengenai kegiatan dari pesantren ini, ternyata tak hanya belajar dan menghafal quran Hafizha menemukan fakta baru dari kegiatan-kegiatan yang akan berlangsung. Contohnya saja menjadi petugas ndalem atau abdi ndalem, biasanya itu sudah di pilih langsung oleh seorang buk Nyai, namun kadang ada beberapa santri maupun santriwati yang akan di panggil untuk membantu. Kegiatan nya sih membersihkan ndalem, membantu memasak, dan lainnya.

Itu khusus ndalem, belum lagi anggota dapur. Disana memiliki giliran, setiap santriwati diwajibkan  untuk mengikuti kegiatan dan membantu anggota dapur, baik itu belanja, atau memasak makanan untuk seluruh santri dan santriwati yang ada di pondok pesantren ini. Jadi dapat disimpulkan jika mereka akan bisa memasak, menurut Hafizha itu adalah hal yang menyenangkan, ia ingin mencobanya.

Selain itu masih banyak kegiatan lain yang akan menyambut Hafizha nanti.

"Kak Hafizha kan anak psikologi, katanya mereka tuh bisa baca pikiran seseorang, coba baca pikiran aku?" seorang diantara kelima perempuan itu tiba-tiba berceletuk di sela-sela pembicaraan.

Tentu Hafizha tergelak, bukan tertawa, lebih tepatnya menahan tawa. Bisa-bisanya julukan itu sampai ke pesantren ini, sebenarnya sudah tidak heran jika anak psikologi dijuluki dengan kalimat 'bisa membaca isi pikiran orang' tetapi itu mana mungkin. Psikologi memang bisa membaca bahasa tubuh, tetapi bukan meramal, ingat itu! Kadang Hafizha juga heran mengapa mereka bisa menyimpulkan seperti itu, bahkan ketika ia bertemu teman beda fakultas selalu bertanya kepadanya, seolah-olah ia bukan mahasiswi melainkan peramal, ada-ada saja. Satu julukan lagi untuk fakultas psikologi, 'kuliah sambil rawat jalan' bukan hanya mendapatkan ilmu, tetapi terapi mental dengan ilmu itu.

"Bukan, bukan seperti itu konsepnya. Kami tidak bisa meramal, apalagi menjadi peramal sangat tidak masuk akal. Psikologi itu ilmu yang dibutuhkan ketika seseorang memang sedang membutuhkan nya."

"Kami tidak sembarang bisa menggunakan apalagi itu bukan untuk hal yang penting. Psikologi hanya ilmu yang di pelajari ketika kuliah, jadi kalau mau konsul lebih baik ke psikolog aja, kakak belum sedalam itu untuk menyangkut tentang psikologi ini, walaupun kakak sangat menyukainya." Hafizha melihat keempat teman barunya yang tampak mendengarkan perkataan nya dengan serius.

"Jadi itu hanya julukan ya, Kak?" tanya satu perempuan yang sama, dia bernama Safa.

"Yes, kamu benar."

Ketika menyadari mereka sudah sampai di depan kamar asrama, kelima perempuan itu memasuki kamar tidak lupa mengunci nya dari dalam.

•••

"Anak pemilik pesantren yang sekarang ini ada dua, Hafizha, yang satu sudah menikah, satunya lagi masih single."

Hari ini adalah hari kedua Hafizha berada dalam lingkungan pesantren ini, dan sekarang ia sedang bersama salah satu warga pesantren yang kebetulan tadi mengajak nya untuk berkeliling.

"Ooh... Kalau sore gini masih agak sepi, mereka kira-kira lagi ngapain?"

Seolah mengerti kata 'mereka' yang terucap dari bibir Hafizha, wanita  berkerudung panjang itupun menjawab.
"Kalau menjelang sore itu biasanya santri dan santriwati masuk kelas khusus hafal dan setoran quran, itu akan selesai ketika waktu ashar tiba," jelas nya.

"Mbak, kalau boleh tau adakah santriwati di sini yang bernama ca__"

"Assalamu'alaikum, Gus." Hafizha memalingkan wajahnya ketika mendengar perkataan dari wanita di sampingnya ini.

Di sana, tepat satu meter jarak yang terbentang di antara mereka, berdiri seorang pemuda dengan kemeja hitam serta sarung yang melekat di tubuhnya, tidak lupa peci putih menutupi bagian atas kepalanya.

Deg

"Wa'alaikumussalam, Mbak." jawab pemuda itu.

"Sedang ingin kemana, Gus?"

Masih tetap pada pandangan yang terjaga, pemuda itu menjawab,
"Mau ketemu Umi, Mbak. Kalau begitu saya permisi, silahkan dilanjutkan obrolannya."

"Assalamu'alaikum." pemuda itu berjalan setelah mengucapkan salam meninggalkan Hafizha dan wanita yang bersamanya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Hafizha.

"Hafizha, itu tuh salah satu anak Pak Kyai."

Hafizha sedikit terkejut ketika wanita di sampingnya ini berkata demikian, ternyata pemuda yang selama ini pernah ia temui adalah seorang Gus.
Bahkan beberapa waktu lalu ketika ia mendengarkan dakwah dari pemuda itu ia hanya beranggapan jika dia adalah seorang ustad, tetapi ternyata itu lebih.

•••
Bersambung
•••

.
.
.
.

Agak aneh, tapi ya sudahlah cerita-cerita aku kok__ups!

Aku sedikit tambahin tentang psikologi, jika ada kesalahan aku mohon maaf yaa... Kasih saran aja gapapa:)

Terimakasih.



















Dia, Hafizha (ENDING) Where stories live. Discover now