Part: 20

554 16 0
                                    

"Benar kamu yang ingin melakukan penelitian di pesantren ini, Nak?"

Baiklah karena semua adegan saling mengenal, salaman, serta peraturan yang baru Hafizha dapatkan, sudah dilewati. Kini dia sedang duduk lesehan di atas karpet. Gadis itu baru mengatahui jika tempat yang dikunjungi nya ini bernama 'Ndalem' tempat tinggal bagi keluarga dari pemilik pesantren, mungkin itu adalah alasan yang bisa Hafizha petik dari penjelasan santriwati yang mengantar nya.

"Iya, Bu Nyai." tersenyum sedikit canggung.

"Panggil saja, Umi. Biar lebih akrab," ujar wanita paruh baya berjilbab panjang.

"Baik, Umi."

"Kalau boleh tau kamu fakultas apa?"

Apa yang harus ia jawab? Bagaimana jika nanti wanita di hadapannya ini bingung dan bertanya mengapa ia harus melakukan penelitian? Kenapa ia harus berada di situasi yang sulit untuk mendapatkan sebuah jawaban yang pas.

"Psikologi, Umi."
Setidaknya Hafizha bangga menjadi salah satu bagian dari psikologi, jadi ia tidak ingin berbohong mengenai ini.

"Ooh... Katanya kamu satu kampus dengan anak saya?"

Hafizha kembali mengingat isi pesan yang disampaikan oleh dospem nya itu, tentang anak dari pemilik pesantren. Bahkan Hafizha tidak mengenal siapa dia, dan Hafizha belum bertemu dengan orang itu.

"Iya, Umi. Kata dospem saya seperti itu, tapi kami belum bertemu dan kenal sebelumnya." gadis itu sedikit rumit menyusun kata-kata yang diucap nya.

"Nanti juga kenal." Hafizha membalas dengan senyum tipis yang merekah.

"Saya membebaskan kamu jika ingin meneliti pesantren ini atau santri dan santriwati di sini, tetapi kamu harus menaati peraturan yang berlaku. Hidup dan berbaur dengan mereka, secara sederhana, juga ikuti kelas belajar yang mungkin akan berguna bagimu, Nak. Saya tidak memaksa, senyaman mu saja, asal tetap pada batas yang sudah ditetapkan, paham?" wanita paruh baya itu menjelaskan dengan lembut. Dapat Hafizha lihat ketulusan dari matanya, aura seorang ibu tidak bisa ia lewatkan ketika kata demi kata keluar dari lisan wanita berjilbab panjang ini, sangat menenangkan.

"Fizha paham, Umi. Jika nanti ada Fizha melakukan kesalahan tolong tegur aja." tidak biasanya gadis itu menggunakan nama yang sering di sematkan untuk nya dari orang-orang terdekatnya kepada orang asing. Hafizha jarang menyebutkan panggilan 'Fizha' kepada orang asing yang bahkan ini baru pertama kali dia temui.

'Ketulusan itu yang membuat ku yakin'

•••

Di tempat lain terlihat seorang pemuda berpakaian formal dengan tangan yang memegang karangan bunga matahari berdiri tepat di depan pintu rumah mewah.

"Sudah saya katakan jika Hafizha tidak ada di rumah, Mehen." tepat dihadapan pemuda itu berdiri seorang pria paruh baya.

"Calon Ayah mertua___"

"Apa kamu bilang? Siapa calon mertua kamu?"

"Ayah lah,"

"Dih, percaya diri sekali. Jangan panggil saya dengan sebutan itu, ganti!" tegas Ryan.

"Papa mertu__"

"Tidak!"

"Jadi apa sih, Om?"

"Nah, itu dia lebih cocok." Ryan mengangguk-anggukkan kepalanya setuju.

Mehen memutar matanya malas, tidak Ayah dan anak sama saja, sama-sama tidak menerima dirinya.

"Ya udah iya, sekarang jawab dulu Zahwa ada di rumah kan, Om?" tak ingin menyerah pemuda itu tetap pada pendirian nya.

"Tidak ada anak muda, Hafizha pergi." Ryan berdehem singkat setelah menyelesaikan perkataannya.

"Kemana, Om?"

"Kalau saya jawab pun kamu tidak akan bisa mendatangi nya, jadi percuma." Ryan hendak beranjak pergi meninggalkan pemuda itu.

"Tunggu dulu, Om! Emang kemana sih? Mana mungkin aku nggak bisa datang ketempat itu, kalau untuk Zahwa apa sih yang enggak aku datangi." Mehen menaik-turunkan alisnya.

"Dasar buaya darat! Dari dulu tidak berubah. Kamu yakin mau saya kasih tau?" Ryan kembali pada posisi awalnya, menatap tajam pemuda di depannya ini.

"Yakin seribu persen, Om!" Mehen tidak memperdulikan julukan yang diberikan oleh Ayah dari gadis yang dicintainya itu, yang terpenting ia harus mengetahui kemana Zahwa pergi.

"Ponpes," jawab Ryan singkat.

Mehen mengerutkan dahinya bingung.
"Ponpes apa itu, Om?"

"Nah, kamu saja tidak tau apa itu Ponpes, sudahlah pulang saja." Ryan berbalik ingin melangkah masuk.

"Om jangan lah begitu, tinggal kasih tau aja apa susahnya sih?" Mehen kembali menghentikan langkah Ryan.

"Kamu punya ponsel? Coba searching di google apa itu ponpes. Gunakan teknologi dengan sebaik-baiknya, jangan hanya untuk hal-hal tidak berguna. Sudah saya ingin masuk, ada yang menunggu." Ryan tidak lagi menerima respon dari pemuda di belakangnya itu, jadi ia dengan yakin melangkah masuk meninggalkan nya. Tak lupa ia juga menutup pintu rumah.

'Saya sengaja membuat mu penasaran anak muda'

Sedangkan Mehen dengan cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, membuka aplikasi google ia mengetik sebuah kalimat 'Apa itu ponpes?'

Ponpes atau singkatan dari Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan agama Islam.

Ya Tuhan

Pantas saja, ia tidak bisa mendatangi tempat itu.

Lagipula apa yang dilakukan Zahwa di sana?

.
.
.
.
.
.
.
.
.

•••
Bersambung
•••

Apa kesimpulan yang dapat di ambil?

Sedikit tidak menyangka udah sampai part 20, ya ampun terhuraaa

Moga bisa menyelesaikan cerita ini yaa

Btw kalau part nya teracak lagi, bilang yaa.. atau kalian lihat² deh biar nggak bingung.

Terimakasih.




Dia, Hafizha (ENDING) Where stories live. Discover now