30

152 35 0
                                    

BnHA © Kohei Horikoshi

30
Pahlawan Palsu

"KENAPA KALIAN SEMUA TERDIAM DI SINI? BUKANKAH ADA MONSTER YANG DATANG KE SINI?!"

Seruan itu membuatku menoleh ke arah gang kecil di seberangku. Endeavor berjalan mendekat, masih tampak segar bugar meski aku yakin ia yang paling banyak membasmi nomu.

Mengabaikan pro hero terkenal yang bergabung juga dengan kami, pandanganku tertuju pada Stain yang menahan Midoriya ke tanah, teman sekelasku itu bergerak-gerak putus asa demi bisa terlepas dari tekanan villain yang masih membawa-bawa pisau berdarah. Nomu tergeletak beberapa langkah dari mereka, tidak bergerak dan mengucurkan darah dari otaknya.

"Endeavor..." Suara rendah villain itu membuatku bergidik.

"HERO KILLER!"

"TUNGGU SEBENTAR!" teriak Gran Torino, berhasil menghentikan Endeavor yang hendak menyerang.

Stain menyingkir dari Midoriya, menoleh dan memperlihatkan wajahnya yang makin seram saja. Kain kumal yang dipakai seperti topeng lepas, memperjelas mata yang melotot penuh amarah. Keningnya berkerut-kerut dan luka bekas pertarungannya membuat kesan seramnya semakin kuat.

"Pemalsu... Harus dibunuh..." gumam Stain. "Harus ada seseorang yang bersimbah darah... Harus ada seseorang yang membangkitkan pahlawan yang asli! Kemarilah! Kemari saja para pemalsu! Yang bisa membunuhku... hanyalah yang asli!"

Kujaga raut tenangku, meski tubuhku menunjukkan emosiku dengan gemetar seperti yang lain. Tidak bisa digerakkan dan terus gemetar, aku bahkan harus mengepalkan tangan kuat-kuat hingga terasa sakit demi menghentikan tanganku gemetar. Mengambil napas pun terasa sangat berat saat ini.

Tekanan dari Stain sangat kuat. Tapi tiba-tiba ia terdiam, masih berdiri tapi diam. Tidak bergerak, tidak bersuara.

"Ah... Ia tidak sadarkan diri..." gumamku..

"Orang ini... Telah kehilangan kesadarannya." kata Endeavor beberapa detik kemudian.

Mengerjap pada tubuh Stain yang masih tetap berdiri tegak meski sudah kehilangan kesadarannya, aku melirik keadaan teman-teman sekelasku. Midoriya mendongak, masih terpaku pada Stain. Todoroki dan Iida memandangi Stain, jatuh terduduk karena lemas.

Aku tidak peduli dengan Stain dan pemikirannya itu. Semua orang bebas berpikir dan membuat filosofinya sendiri, bodoh atau tidak pada akhirnya hanya akan menjadi penilaianku seorang dan tidak berpengaruh apapun pada hal tersebut. Yang saat ini kupikirkan hanyalah syukur pada Tuhan karena membuat malam panas ini berhasil kulewati dengan selamat.

***

Rumah sakit.

Aku tidak terluka separah itu hingga harus dirawat. Hanya beberapa goresan dan luka tusuk karena serpihan material bangunan yang kudapat ketika menolong orang-orang. Perawatan yang kudapat hanyalah pembersihan luka dan plester luka di beberapa tempat dan perban di lengan.

Yang parah adalah Fragile. Aku tertawa pelan saat melintasi lorong ruang rawat, kembali mengingat cerita dari beberapa pro hero yang kudapat dari hasil menguping. Katanya, Fragile bertarung dengan beberapa nomu ketika sedang membantu evakuasi, nomu itu kerjanya hanya terus menubruk hingga pria itu tidak punya kesempatan untuk mengaktifkan quirknya. Ia kalah, berhasil di cengkeram dan membuat tenggorokannya luka cukup parah hingga membuatnya dirawat si rumah sakit.

"Ohayo, Fragile-san! Bagaimana kehidupanmu di rumah sakit?" kekehku saat memasuki ruang rawat itu.

Fragile yang sedang duduk dengan arsip laporan misi di pangkuannya melototiku, ia sudah seperti ini sejak aku pertama kali berkunjung. Sama sekali tidak ada keramahan darinya, ucapan terima kasih pun sudah tidak kuharapkan lagi.

ShadowWhere stories live. Discover now