"Nggak akan!" sanggah Calvin dengan memberi tatapan yakin pada istrinya.
"Kenapa? Kamu takut perasaanmu kembali? Lakukan jika memang kamu nggak ada perasaan lagi sama dia." Perempuan itu tetap bersikukuh memaksa suaminya. Sementara Calvin, ingin rasanya ia memutar waktu untuk tidak ke pemakaman hari ini. Kalau pun menjelaskan pada Shena sampai mulutnya berbusa, perempuan itu tetap tidak akan percaya dengan perasaannya yang sudah tidak tertuju lagi pada Clara.
Calvin bukan lelaki penyabar, ia bersikap sabar selama ini untuk mengimbangi kondisi sang istri yang butuh banyak perhatian. Namun, rasanya sia-sia saja jika Shena tak mengindahkan usahanya.
Malah memintanya untuk menemani Clara. Jika perempuan itu marah seperti waktu lalu ketika melihat dirinya berdua dengan Clara, tentu saja Calvin yang menjadi sasaran emosinya.
Kesal bukan main tentu sedang Calvin rasakan saat ini. Padahal baru saja semalam ia mendapat momen-momen manis dengan istrinya, kini dihancurkan dengan mudah oleh keegoisan Shena.
Bukan tidak berani menemani Clara, Calvin hanya ingin menjaga perasaan sang istri supaya hati dan mentalnya tetap baik-baik saja sampai proses persalinan tiba.
"Tunggu apa lagi, Vin?" Melihat Shena tak mampu digoyahkan kemauannya, Calvin rasa ia harus menuruti dulu apa keinginan perempuan itu.
Sebelum langkahnya berlanjut, ia berbalik arah dan menatap penuh intens pada istrinya.
"Jika memang aku udah nggak ada perasaan sama dia. Apa kamu mau percaya?"
"Jawab, Shen!" Perempuan itu enggan menatap suaminya. Shena memilih menjatuhkan pandangannya pada pohon kamboja putih yang tumbuh menjulang di atas barisan makam.
"Aku udah coba pertahankan rumah tangga kita selama ini! Tapi kamu sendiri yang berniat menghancurkannya dengan keegoisanmu itu!" Ingin marah besar, tetapi Calvin sadar siapa lawan bicaranya saat ini.
"Memang harus dihancurkan, Vin! Karena rumah tangga ini nggak seharusnya ada," balas Shena dengan suara yang hampir meninggi. Andai saja mereka tidak bertemu Clara hari ini juga. Mungkin Shena tidak akan berkata demikian.
Setelah meremas rambut legamnya dengan jemari yang kekar itu, Calvin mengusap wajahnya secara kasar. Sementara sepupu dan adik dokter Satya yang sempat mengetahui keributan tersebut memilih menjauh dari mereka supaya tidak mendengar percekcokan itu.
"Oke, aku akan nemenin Clara kalau kamu bisa jawab pertanyaanku."
"Ya, mau tanya apa?" Wajah Shena mungkin sudah diplester dengan kuat oleh semen kualitas tinggi supaya tidak terlihat merana. Namun, sorot matanya yang memendam kecemburuan itu tidak bisa dibohongi begitu saja.
"Bagaimana dengan perasaanmu sekarang? Apa kamu— mencintaiku? Jawablah dengan jujur. Karena keputusanku untuk ke sana ada padamu."
"Shena, apakah kamu pernah mencintaiku setelah kita tinggal bersama selama ini?" Calvin bertanya penuh harap. Ia sama sekali tak mendapati manik Shena yang menatap dirinya. Karena perempuan itu masih sibuk mencari objek yang cocok untuk mengalihkan suasana.
Setelah cukup lama bergelut dengan hatinya, sepertinya Shena sudah menemukan jawaban yang cocok untuk pertanyaan tersebut.
"Jawab jujur, Shena! Setelah semua yang kita lakuin bersama. Malam yang kita habiskan berdua, serta hadirnya dia—"
"Nggak. Aku nggak cinta sama kamu!" Hati Calvin mencelos hebat. Meskipun tidak yakin, ia percaya ada setitik rasa di hati perempuan itu untuknya. Bahkan Calvin melihat jelas bagaimana cara Shena merajuk padanya, meminta perhatian padanya, serta mencium dirinya malam itu. Apa artinya jika bukan cinta?
"Sedikit saja nggak ada?" Seperti pengemis cinta, Calvin masih berharap Shena meralat jawabannya. Takdir memang memberinya banyak limpahan harta, tetapi dalam urusan cinta ia hanya berkorban seorang diri untuk mendapatkannya. Dosa apa memangnya yang Calvin perbuat di masa lalu, hingga ia harus membayar dengan luka hati berdarah-darah seperti ini.
"Aku nggak cinta sama kamu, Calvin."
Mata lelaki itu memanas. Lelah menanggapi ucapan Shena yang semakin membuat hatinya remuk redam. Ia putuskan untuk melangkah gontai menuju di mana Clara berada. Selagi Calvin mulai menjauh darinya, cepat-cepat perempuan itu menghapus air mata sebelum menganak sungai.
"Maaf. Aku nggak boleh jatuh cinta sama kamu, Vin. A—aku … aku takut kalau nggak bisa lupain kamu setelah berpisah nanti." Shena remas kuat-kuat kain hitam yang terjuntai di bahu itu ketika Calvin sudah berhasil menyapa masa lalunya.
Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Takdir? Atau perasaan keduanya yang sama-sama tidak bisa diutarakan secara leluasa?
💕💕💕
Vote dan komentar terrrrbaik kalian gaes jangan lupa yaaa
No edit2 club😌🙏
Bye bye see you hari (apa aja)
YOU ARE READING
From Enemy to be Pasutri
RomanceBagaimana jadinya, seorang pengusaha muda yang begitu rajin dan ambis dipersatukan dengan cewek mageran tapi mempunyai banyak impian seperti Shena Sandara? Keduanya terpaksa harus membangun rumah tangga tanpa pondasi cinta demi memenuhi keegoisan o...
💕Setitik rasa💕
Start from the beginning
