💕Bukan roti biasa💕

672 122 43
                                    


Happy reading guys

💕💕💕


Harusnya dari awal Shena tahu, jika kebahagiaan itu tidak bisa digantungkan pada orang lain. Hanya akan mendapat kecewa alih-alih bahagia. Untuk saat ini, mungkin ia perlu mempertahankan apa saja yang bisa membuatnya bahagia tanpa harus bergantung pada orang-orang di sekitarnya.

Shena terbang terlalu tinggi tanpa mempersiapkan di mana nanti ia akan jatuh.

Waktu sudah melewati subuh. Namun, tanda-tanda kedatangan Calvin belum juga muncul. Meskipun dalam hati sepenuhnya kecewa,ia tak bisa berhenti membuka ponsel dan mengecek berkali-kali notifikasi pesan dari suaminya.

"Ah, kenapa kayak gini?" Perempuan itu mengacak rambutnya kesal, ingin rasanya ia menendang koper-koper itu keluar. Ia benci dengan perasaannya yang tiba-tiba mengkhawatirkan Calvin. Mempertanyakan di mana keberadaanya sekarang hingga harus membatalkan perjalanan mereka ke Dubai.

Menahan geram dan rasa kecewa yang begitu mendalam. Shena memutuskan untuk keluar ke apartemen, sekedar mencari udara segar sebelum fajar menyingsing.

Nama Calvin terus ia maki dalam pikirannya, ubin yang berada di bawah kakinya ia injak-injak penuh emosi. Seolah itu adalah Calvin yang tengah mempermainkan dirinya.

"Mampus, mampus, mampus!!" desisnya kesal. Begitu lift yang membawanya turun sampai di lobi Bess Mansion. Tubuhnya terdorong oleh seseorang hingga kembali masuk ke dalam sebelum ia berhasil keluar. Beruntung ia bisa bertumpu pada dinding lift dengan kedua tangan kecil yang rupanya memiliki kekuatan lebih itu.

Shena cukup terkejut saat mengetahui bahwa lelaki tersebut adalah anak semata wayang dari mertuanya. Manik matanya melebar ketika mendapati hal tak biasa di wajah lelaki yang terlihat cukup berantakan.

"Vin? Ke–kenapa wajah kamu bonyok kayak gini?"

"Kamu habis tawuran?"

"Gila! Nantangin preman mana,sih, kamu?" Shena memberondong pertanyaan selagi lift membawa mereka berdua kembali ke atas. Calvin enggan menjawab, ia hanya memandang Shena dengan datar dan tatapan kosong untuk sesaat. Ada banyak lebam keunguan dan darah mengering yang sebenarnya tak bisa menutupi wajah tampan lelaki itu.

Tanpa beradu mulut lagi, Shena yang tengah menyapu bersih pandangannya pada wajah Calvin kembali terhenyak. Meskipun mereka jarang akur, sering berdebat, dan mengolok-olok satu sama lain, bukan berarti hati Shena sekeras batu jika melihat wajah memprihatinkan itu.

Mengesampingkan ego dan rasa kecewa, Shena berniat membantu Calvin masuk ke dalam apartemen. Lelaki itu tak menolak dan tetap memilih untuk bungkam sampai ia terduduk dan meloloskan napas panjangnya di sofa ruang tamu.

Masih terlintas jelas bagaimana bogeman dari lelaki besar dan tambun yang mengaku sebagai kekasih Clara itu menyerbu wajahnya tanpa ampun.

"Kalau kupingmu nggak bermasalah, harusnya kamu udah keluar dari sini!" Maki seorang lelaki yang baru saja masuk ke ruangan Clara malam itu. Sementara perempuan yang masih tersambung dengan selang infus itu memilih diam karena putus asa untuk mengusir Calvin yang benar-benar keras kepala tetap ingin menemaninya.

"Jadi kamu pacar barunya? Cih, ini selera kamu, Ra? Om-om?" Calvin menyeringai kecil memperhatikan lelaki berbadan besar itu dari atas ke bawah. Clara enggan menjawab, matanya memanas menahan emosi.

"Tolong pergi sebelum kesabaranku habis. Nggak ada ceritanya orang besuk di tengah malam kayak gini." Karena masih tetap mempertahankan keinginannya, terpaksa lelaki besar itu melayangkan tonjokan. Berniat membuat Calvin lekas sadar dan tidak lagi mengganggu Clara. Karena bagaimanapun hubungan keduanya sudah dinyatakan berakhir setelah  Calvin terpaksa menikahi perempuan yang tadi ia kirimi pesan menyakitkan.

From Enemy to be PasutriWhere stories live. Discover now