💕Tameng anti cinta 💕

633 114 30
                                    


Happy reading guys



💕💕💕


Keresahan semakin menyelimuti kediaman keluarga Clara yang bahkan hanya ditinggali oleh dua perempuan yang kini berusaha saling menguatkan. Meskipun keadaannya  saat ini tidak sedang baik-baik saja ditambah berat badan yang terus menurun tak lantas membuat Clara hanya berdiam diri di rumah. 

Ia masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan ringan. Namun, tak lama setelah itu rasa sakit luar biasa akan menyerang kepalanya kembali. Baginya, pengobatan kemo hingga radioterapi yang pernah ia lakukan entah mengapa belum memberi perkembangan. Tak sebanding dengan uang yang selama ini  berhasil ia pinjam dari teman dekat termasuk Satya yang tiap tiga hari sekali akan berkunjung ke rumahnya. 

"Ibu akan gadaikan sertifikat rumah, Ra. Ibu mau kamu operasi." Perempuan dengan berat badan di bawah 40 kilogram itu menoleh pelan pada ibunya. Ada guratan putus asa di wajah sayu itu.

"Apa ibu lupa, kalau ayah membawa sertifikat rumah setelah menikah dengan istri barunya?" Clara berdecih lirih, menatap tak selera pada makanan yang terhidang di depannya. Jika rasa sakit itu kambuh, ia akan berusaha untuk tidak menunjukkan di hadapan ibunya. Namun, tetap saja sang ibu bahkan tahu hanya dengan melihat raut wajah sang putri yang meringis menahan kesakitan. 

"Nak, maaf. Harusnya ibu melakukan apa pun untuk kebaikan putrinya. Tapi … lihat, lihatlah keadaanmu ini karena ibu tak bisa apa-apa." Tentu saja sebentar lagi isak tangis sang ibu akan terdengar. Maka dari itu, Clara lekas beranjak meraih tubuh ibunya untuk ia dekap. Kemudian menatap langit-langit rumah yang hanya menjadi penonton bagaimana kedua perempuan itu saling pontang-panting hanya untuk bertahan hidup. 

"Ibu nggak boleh ngomong gitu! Clara nggak suka dengernya. Seharusnya sebagai anak, Clara yang nggak boleh nyusahin orang tua. Ibu sudah berbuat banyak untuk aku selama ini." Menahan tangis memang amat menyesakkan bagi perempuan yang seringkali menyembunyikan semua beban itu di balik wajah tegasnya. Mungkin jika orang yang baru mengenal, Clara bisa mendapat penilaian sebagai seorang perempuan berkarir, classy, dan mandiri. 

Namun, di balik itu semuanya rapuh. Hanya tersisa sebongkah semangat untuk bertahan hidup. Pelukan antar anak dan ibu tersebut berhasil mengendur ketika sebuah suara yang tak asing kembali terdengar di rumah mereka. Rumah yang lumayan besar, tetapi terlihat lebih sepi karena beberapa perabotan mahal habis terjual. 

"Kamu udah pulang kerja, Zak?" 

"Iya, aku pulang lebih awal dari biasanya. Mbak sudah makan?" Dua perempuan yang saling mengusap air mata itu sudah bukan menjadi pemandangan aneh bagi Zaki. Sebagai seseorang yang hidup sebatang kara, ia memang kerap tinggal di rumah Clara apalagi semenjak perempuan sekaligus kakak sepupunya itu diketahui menderita kanker otak. 

Bodohnya yang menjadi penyelesaian panjang Clara selama ini adalah mengapa ia terus mengabaikan sakit kepala sejak saat kuliah dulu. Ia pikir hanya migrain biasa karena wajar sedang menjalani masa-masa kuliah.

"Belum, Zak. "

Tanpa menunggu respons dari Clara, Zaki dengan cekatan mengambil makanan. Meskipun ia masih muda, tetapi ketelatenannya dalam merawat perempuan itu patut untuk diacungi jempol. 

"Mbak tetep nggak mau operasi? Aku juga udah kerja,kok. Soal biaya nanti bisa aku pinjamkan ke kenalanku." 

"Selain biayanya mahal. Aku … aku takut jika karena itu aku nggak bisa lihat ibu lagi. Aku nggak mungkin bisa ninggalin ibu sendirian,kan? Siapa yang akan merawatnya nanti, Zak?" Suara Clara meninggi, ia memang sensitif jika sudah membahas operasi. Pikirannya akan terbawa ke mana-mana dan bisa membuatnya semakin pesimis untuk bertahan. Namun, kemo yang ia lakukan hampir enam kali ini juga belum memberikan peningkatan. 

From Enemy to be PasutriWhere stories live. Discover now