9

157K 3.1K 367
                                    

The prince with the white horse

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

The prince with the white horse.
Not a prince, he's the king.
.
.

Berbalik menuju ranjang tidurnya, Avandher mendudukkan diri di pinggir ranjang. Menatap sang istri yang memunggunginya. Avan tau Valina belum tidur.

"Besok aku ada meeting di Seattle," beritahu Avan dan Valina sama sekali tak menggerakkan tubuhnya.

Hening beberapa detik, sebelum kemudian Avan kembali bersuara. "Apa kau mau ikut?" ajaknya.

Helaan nafas pria dewasa itu terdengar berat. Ketika sang istri memunggunginya dengan tak sopan, tentulah itu membuat harga diri Avan sebagai suami terluka. Avan mengakui ia salah, tak seharusnya ia membicarakan soal anak. Tapi, mereka suami istri dan ini sudah 6 tahun.

"Valina.." panggil Avan dengan nada lirih. Ia bukanlah pria yang sabar, tapi ia bisa begitu sabar jika itu menyangkut cintanya.

"Kau tau aku tak bisa jika abaikan seperti ini.." ucap Avan lagi.

"Besok adalah jadwal aku mengganti kontrasepsi," beritahu Valina, tanpa membalik tubuhnya.

Mendengar itu, tangan Avan yang hendak terulur menyentuh punggung Valina itu seketika terhenti.

Avan ingin bertanya kapan istrinya itu akan melepas benda itu dan memikirkan tentang anak, tapi sepertinya lebih baik tak diutarakan. Karena jika tidak, hubungan mereka semakin memburuk.

Setelahnya hening.

Lagi-lagi Avan mengehela nafas. Kesimpulannya, Valina tak akan ikut dengannya besok. Haruskah Avan sedih, biasanya Valina selalu menemaninya jika ada meeting di luar negeri atau kota.

Malam ini, mereka sama-sama tidur dengan saling memunggungi.

.
.

Besoknya, pukul 09.00 pagi.

Letta sudah sampai lebih dulu di bandara daripada sang Boss. Di temani koper usangnya, Letta mendudukkan dirinya di ruang tunggu, menunggu Avan yang katanya sebentar lagi akan sampai.

Hari sesuai jadwal, mereka akan terbang dari Boston ke Seattle.

Itu berarti selama tiga malam, Letta harus meninggalkan neneknya. Beruntung ia punya tetangga yang baik, bibi Emma bilang tak keberatan mengurus sang nenek ketika Letta sedang bekerja.

Soal Avan, jujur sebenarnya Letta merasa canggung bertemu pria itu. Bagaimana ia bisa bersikap normal di depan pria beristri yang telah merenggut keperawanannya?

Sangat disayangkan itu terjadi padanya. Walaupun begitu, Letta akan menganggap sesuatu seperti itu tak pernah terjadi di antara mereka.

Letta sudah bertekat dan ia sudah berjanji. Rasanya sudah cukup ia bersedih dan sekarang tak gunanya lagi menangis. Semuanya telah terjadi dan Letta harus bersikap profesional, seperti kata Avan.

THE BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang