8

165K 3.3K 230
                                    


Tekanan.
.
.

Makan malam keluarga besar menjadi pertemuan yang paling Avandher hindari sejak 3 tahun terakhir. Tapi, mau tak mau harus Avan hadiri, sendirian! Di mana Valina? Istrinya itu memilih tak hadir dengan alasan tak enak badan. 

Setelah perdebatan mereka kemarin, pembahasan soal anak menjadi semakin sensitif. Bahkan, Avan dan Valina masih terlibat perang dingin, mungkin lebih tepatnya Valina yang mendiamkan pria itu. 

Sedangkan Avan, tentu saja pasrah, ini bukan pertama atau kedua kalinya mereka bertengkar. Ayolah, rumah tangga mana yang akan selamanya damai? Pastilah, cekcok itu hal biasa. Hanya perlu beberapa hari untuk mereka kembali berbaikan seperti semula dan harmonis lagi.

Istrinya itu adalah orang keras, walaupun terlihat angun dan lemah lembut, Valina nyatanya adalah sosok yang kuat. Begitupun Avan.

Namun, jika rumah tangga tak ada yang mau mengalah, tentu tak akan berhasil. Maka dari itu, peran Avan adalah meredam egonya, emosinya, dan tentunya ia harus mengalah. Alasannya tentulah karena Avandher mencintai istrinya. 

Avandher adalah pria yang ingin istrinya selalu terlihat baik di mata semua orang. Sekalipun, Avan tak mengeluhkan sikap Valina yang kadang-kadang sedikit merepotkan pikirannya, seperti saat ini.

"Istrimu tak datang lagi?"

"Valina sedang tak enak badan." Avan menjawab seadaanya pertanyaan sang Ayah.

Pria yang bulan lalu memasuki usia ke 55 tahun itu memiliki aura dan tatapan yang sama seperti anaknya. Jadi jangan tanya dari mana sifat Avan diturunkan, tentu saja dari pria itu.

"Apa dia hamil?" 

Pertanyaan itu lagi. Avan menghela nafas, namum tetap mencoba terlihat santai. "Tidak. Hanya tak enak badan biasa."

Jelas saja jawaban Avan tak memuaskan hati pria itu, karena detik selanjutnya pria itu menampilkan raut dingin luar biasa.

"Enam tahun tak punya anak. Jika bukan menunda itu berarti salah satu dari kalian ada yang tak sehat," sarkas Tuan Nion, ayah Avandher.

"Periksalah kedokter. Kau yang mandul atau istrimu yang mandul," tambahnya lagi.

Nada bicara tua bangka itu dingin, datar, dan santai namun begitu menyakitkan hati. 

Avandher tersenyum kecut, balas menatap ayahnya itu dengan raut sirat akan ketidaksukaan karena kalimatnya barusan.

"Kami sehat."

"Itu berarti kalian menunda," simpulnya dan Avandher tak bisa berkata-kata. "Jika bukan anak darimu, lalu siapa lagi yang pantas menjadi penerus keluarga?" 

Pembicaraan soal Avandher dan Valina selalu bisa membuat suasana makan-makan keluarga menjadi tegang. Bukankah harusnya acara seperti ini berlangsung hangat?

"Kenapa kau selalu seperti ini?" Itu pertanyaan sekaligus teguran halus dari wanita paruh baya yang duduk di sebelah pria tua itu. Ya, wanita itu adalah Nyonya Ghar, Ibu dari Avandher. 

Mendapatkan teguran dari sang istri, ayah Avan itu langsung menghela nafas berat dan membuang muka.

Sedangkan Avan, karena suasana hatinya sudah kepalang buruk. Pria itu lantas meninggalkan kursinya dan berjalan menjauh dari rombongan keluarganya, menuju mobilnya yang terparkir rapi di pekarangan rumah.

"Inilah sebabnya kenapa anak kita tidak ingin pulang." Nyonya Ghar menatap suaminya itu dengan tampang marah.

"Avandher itu putra kita satu-satunya. Jika dia tak punya anak itu berarti tak ada penerus keluarga." 

THE BOSSWhere stories live. Discover now