1

322K 2.8K 20
                                    

The first lie

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

The first lie...
.
.

"Happy wedding anniversary, my wife."

Avandher Gharnion, di bawah cahaya bulan dan temaramnya lampu taman, pria bersurai hitam pendek itu membawakan sepotong kue dengan hiasan sepucuk lilin. Pria yang masih menggunakan setelan kerjanya itu tak berbakat bersikap romantis, namun ia selalu mencoba memberikan yang terbaik untuk menyenangkan wanita yang sudah menemaninya selama hampir 10 tahun itu.

Well, Avandher telah mengabiskan 1/3 umur hidupnya bersama Valina Thryson. Pria yang selalu terlihat datar di suka maupun duka itu kini tersenyum begitu manisnya. Mata kelabu yang selalu terlihat tajam dan menusuk itu menjadi hangat kala bersama sang istri.

Di ulang tahun pernikahan mereka yang ke-6 ini, Avan ingin membuatnya spesial. Pria itu merencanakan sebuah dinner kecil di taman belakang mansion mereka, ia juga yang mendekor lampu-lampu taman agar telihat indah. Sampai-sampai pria itu tidak sempat mengganti setelan kantornya dan malah membuat dinner ini terlihat formal.

Valina meniup lilin kecil di atas kue, wanita itu terharu dan merasa sedikit lucu juga. Suaminya itu terlihat seperti remaja 17 tahunan, padahal bulan lalu pria itu baru saja memasuki usia yang ke-30 tahun.

"Selamat ulang tahun pernikahan, suamiku," ucap Valina sambil menyuapkan potongan kue pada Avan. Mereka saling melemparkan senyum manis yang berujung saling memeluk hangat.

"Malam ini kau sangat cantik," puji Avan, menatap wajah Valina.

Ditatap dengan penuh cinta seperti itu membuat Valina tersenyum malu. "Aku cantik hanya untukmu."

Avandher merasa beruntung telah berhasil mempersunting wanita cantik itu sebagai istrinya. Pernikahan mereka juga jauh dari berita negatif dan faktanya kehidupan rumah tangga mereka memanglah harmonis. Walaupun begitu, bukan berarti mereka tidak pernah bertengkar.

Ada satu hal yang setiap kali dibicarakan selalu mengundang pertengkaran yaitu..

Anak.

Ya, topik satu itu selalu berhasil memicu perang dingin di antara mereka.

Kenapa?

Karena Valina selalu menolak untuk diajak bicara soal kapan mereka akan punya anak. Wanita itu selalu mengatakan belum siap menjadi ibu. Padahal, orangtua Avan sudah menuntut soal anak. Namun, Avan tak ingin terlalu memaksa, ia tetap akan menunggu sampai Valina siap menjadi ibu. Karena memang, untuk menjadi seorang ibu membutuhkan persiapan mental yang baik.

Lagipula, Avandher tak masalah jika harus hidup berdua tanpa anak. Karena tujuannya menikahi wanita itu adalah untuk menua bersama. Ya, walaupun orang bilang akan lebih sempurna jika memiliki seorang buah hati.

Malam ini, Avandher hanya akan melakukan hal-hal yang manis, pria itu banyak sekali melontarkan kalimat pujian yang membuat pipi sang istri merah merona. Walaupun, rasanya agak kelu karena seharian di kantor pria itu sering kali marah-marah. Tapi, urusan kantor biarlah tetap di kantor. Avan sangat profesional membedaakan antara urusan pekerjaan dan urusan pribadi.

Baginya, Valina adalah obat terbaik untuk mengembalikan suasana hatinya agar lebih tenang.

Namun, dering ponsel miliknya itu berhasil menganggu momen romatisnya dengan sang istri. Mata hangatnya kini berubah menjadi tatapan tajam kala melihat nama siapa yang menelpon.

Bukankah sudah ia katakan bahwa malam ini, jangan ada yang menganggunya. Namun, bawahannya yang satu itu memang sedikit nekat.

Awalnya Avandher enggan mengangkat panggilan itu. Namun, Valina memberi kode agar mengangkatnya karena mungkin saja itu sesuatu yang mendesak.

"Ada apa?!" nada bicara Avan terdengar sangat ketus dan to the point.

"M-maaf boss.." suara di sebrang telpon itu terdengar bergetar takut.

"Jangan terlalu galak!" tegur Valina berbisik pelan.

Avandher menghela nafas dalam, mencoba meredam kekesalannya.

"Katakan, ada apa sekertaris Letta!"

"T-tuan Nolan mengatakan meetingnya tidak bisa diundur. Jadi, tuan Nolan ingin meetingnya tetap di malam ini, B-boss."

Nada ketakutannya terdengar sangat kentara sekali. Bahkan, Avan dapat mendengar sekertarisnya itu seperti meneguk ludah sendiri.

Avan mendenguskan nafas kasar. "Atur ulang rapat jam 10 malam!"

"Baik, boss!"

Tutt!

Avandher mengguyar rambutnya ke belakang, ia jadi merasa bersalah pada istrinya karena harus kembali ke kantor.

"Sekertaris Letta? Is she the new secretary?" tanya Valina, seingatnya nama sekertaris Avan bukanlah Letta.

"Yahh, baru satu minggu kerja."

Valina ber-oh panjang. "Pantas, dia terdengar takut padamu. Jangan terlalu galak pada karyawan baru," ucap Valina.

Sebagai istri ia tahu betul bagaimana kegalakan Avan saat di kantor.

"Tapi, sekertaris baru itu sangat teledor, bahkan di hari pertama.." Avan kembali mengingat kecerobohan Letta seminggu lalu, masih sangat menyebalkan jika di ingat-ingat.

Sebelah alis Valina terangkat heran, "Benarkah? Tapi, kau tidak memecatnya." Setaunya Avan sangat tidak mentolerir kesalahan karyawan di hari pertama kerja.

Entah apa yang membuat rahang pria itu mendadak kelu. "Ya, tapi di hari itu dia juga melakukan sesuatu dengan sangat baik, jadi kupertimbangkan"

Damn~

Avandher sendiri terkejut setelah kalimat kebohongan itu terlontar dengan lancar dari mulutnya. Anehnya lagi, pria itu berharap bahwa istrinya percaya.

"Kau akhirnya mempertahankannya?"

Avandher berdehem santai sambil menyerut sirup miliknya, tepatnya ia mencoba terlihat santai.

"She is young?"

Avan mengangguk. "She is 20."

"Dia pasti sangat cantik," ucap Valina.

Membicarakan sekertaris barunya itu membuat Avandher tidak nyaman dalam duduknya.

"Yang jelas, tidak lebih cantik darimu, sayang." Pria itu menggombal lagi.

"Berhenti menggombal, itu mengerikan," ujar Valina, wanita itu memberikan pukulan kecil pada lengan kokoh Avan.

"Pergilah ke kantor, sudah hampir jam 10 malam," peringat Valina sambil melirik jam tangan yang Avan kenakan.

"Maafkan aku, lain kali aku akan meluangkan lebih banyak waktu untukmu." Avandher benar-benar merasa bersalah. Apalagi setelah ia berbohong soal sekertaris Letta tadi. Karena faktanya, Avan sendiri tak tahu kenapa ia tidak memecat gadis muda itu.

"Aku sangat mencintaimu," ucap Avandher setelah memberikan kecupan singkat di bibir sang istri.

"Aku juga sangat mencintaimu," balas Valina.

Setelahnya, Avandher benar-benar kembali ke kantornya. Dengan perasaan yang sedikit mengganjal, entah karena apa.

.

.

TBC

Pasti ada somethink nih!

........

VOTE DAN KOMEN YANG BANYAK AGAR CERITA INI SEMANGAT UNTUK DILANJUT.

TERIMAKASIH

THE BOSSWhere stories live. Discover now