💕Sensitive with you💕

Start from the beginning
                                        

"Kamu beneran hamidun, Mbak? Ma, aku masih belum mau jadi om!" Suara melengking dari Eno mengundang perhatian Shena. Ia mencebik lalu menampol punggung sang adik yang tengah asik rebahan di sofa keluarga dan menyalakan tv. Ingin memarahi, tetapi ia sebenarnya terlalu sayang dengan si bungsu meskipun tidak pernah ia umbar perasaan itu secara langsung. 

Daripada meladeni ocehan Eno, Shena memilih untuk berhambur pada sang mama dan papanya yang baru masuk ke dalam. Memeluknya lalu ia ciumi pipi pelita hatinya itu sampai rasa rindunya terobati. Shena tak terbiasa mengungkapkan perasaan kecuali dengan tindakan-tindakan kecil yang ia tunjukkan. 

Setelah cukup puas menyapu bersih pada seluruh fasilitas dalam rumah berharga 9 M itu, sang mama barulah mengalihkan perhatiannya pada Shena. Ia tersenyum tipis dan manis persis seperti senyum milik sang putri. 

"Rumah kamu besar. Kamu bahagia tinggal di sini?" 

"Harusnya mama itu tanya, apa aku bahagia dengan pernikahan paksa ini?" Tak sampai hati Shena mengeluarkan kata-kata itu. Karena baginya melihat keluarga berkumpul seperti ini sudah cukup menjadi momen terbaik dalam hidupnya. Minus sang kakak pertama yang sibuk dengan S2nya. 

"Iya, Ma." 

"Suami kamu mana, Shen? Udah ke tempat kerja?" Pak Pras berjalan menghampiri putrinya. Bahkan bisa Shena rasakan gejolak luar biasa saat sang papa mengusap lalu menciumi puncak kepalanya. Rasanya jauh lebih menggetarkan daripada saat Calvin tiba-tiba memeluk dirinya. 

Ia sampai tak bisa berkata-kata. Tak percaya jika papanya masih mau mencium dirinya seperti kecil dulu. Ingin rasanya ia menendang Eno yang menguasai sofa itu keluar dari sini supaya ia bisa merasakan menjadi satu-satunya putri yang tengah dimanjakan orang tuanya.

"Mimpi kamu, Shena!" batinnya mengingatkan. Sebuah ringisan getir terlukis di bibir Shena jika terus berandai-andai seperti itu. 

"Dia udah berangkat pagi-pagi tadi, Pa." Shena meminta kedua orang tuanya duduk di ruang makan. Sembari menunggu kedatangan mertuanya, ia menyempatkan untuk membangun percakapan kecil. Namun, setelah menyinggung soal kehamilannya. Ia seperti dihadapkan oleh dosen pembimbing yang akan menguji hasil skripsinya. 

Melihat suasana obrolan yang mulai serius, Mbak Ica dan Bude Mirna yang sudah mengakrabkan diri memilih untuk pergi ke dapur kotor. Tak ingin ikut campur dalam urusan tersebut. 

"Apa kehamilanmu ini karena syarat dari Pak Sam?" Bu Tania bertanya dengan santai, tetapi sorot matanya terlihat jelas tengah menuntut jawaban. 

"Shena jangan diam aja. Jawab Mama!" Memang tidak terdengar membentak, hanya saja Shena tak ingin mendengar pertanyaan itu. Dan harusnya ia bisa menjawab dengan mudah pertanyaan tersebut sesuai tujuannya saat ini. Namun, entah mengapa ia membisu. Sulit untuk mengungkapkannya. 

"Shena!" Perempuan bercepol asal tersebut malah sibuk memainkan jari jemarinya di atas meja. Menunduk dan berharap bisa memberi jawaban yang tepat untuk orang tuanya.

"Ma, wajar Shena hamil karena dia udah punya suami!" Sahutan dari Pak Pras sukses membuat Shena mendongak perlahan. Dari raut wajah lelaki tua itu sama sekali tak Shena dapati kejengkelan atau sebal dengan berita kehamilannya. Ia seperti melihat sosok asing dari papanya yang secara tidak langsung memihak dirinya. 

"Papa nggak inget gimana syarat dari Mas Sam waktu itu? Kalau anak ini hamil karena memenuhi syarat tersebut, bagaimana nasib dia nanti, Pa? Jadi janda? Papa mau kalau Shena nanti jadi janda?" Suara Bu Tania sedikit lebih meninggi, tetapi tetap ia kontrol karena bukan hanya mereka yang ada di rumah ini.   Tak lama setelah itu, Shena dibuat pusing oleh perdebatan orang tuanya yang khawatir dengan nasibnya nanti jika pernikahan ini benar-benar harus diakhiri. 

From Enemy to be PasutriWhere stories live. Discover now