26 : Mulai Luluh?

307 33 14
                                    

Happy Reading

*
*
*

Terhitung sudah empat hari berlalu sejak kejadian waktu itu. Dimana semuanya terungkap. Juhan dan Jegar juga sudah dipulangkan, atas dasar paksaan dari pasien itu sendiri tentunya.

Juhan dibawa pulang kembali ke kediaman Abimanyu. Itu memang sudah pilihan terbaik, memang seharusnya begitu. Jafar sudah benar-benar bingung harus bagaimana. Rasa bersalah dan kecewa pada diri sendiri atas Juhan. Semuanya terjadi begitu cepat. Rasanya belum bisa memproses semua yang terjadi dengan pikiran yang jernih. Semua terlalu tiba-tiba untuk Jafar.

Untung saja keluarga Abimanyu mengerti keadaan, dan menegaskan bahwa itu semua bukanlah kesalahan Jafar. Itu takdir dari Tuhan. Jika tidak, mungkin saja Jafar sudah membawa tubuhnya bersujud di hadapan keluarga Abimanyu memohon maaf sebesar-besarnya atas keteledorannya.

Padahal itu semua memang bukan kesalahan Jafar. Jikalau kejadian itu tidak terjadipun, Juhan memang sudah sakit. Bahkan mungkin entah kapan mereka semua akan tau kalau Juhan menyembunyikan rasa sakit sebesar itu selama ini.

Jafar dalam diam masih betah menatap pemuda lain yang tengah setengah berbaring di ranjang besar itu sejak lima belas menit yang lalu.

Punggung yang disenderkan pada pintu kamar yang tertutup dan melipat tangan bersedekap dada, menunggu pemilik kamar membuka pembicaraan terlebih dahulu.

Sesuai yang diinginkan, sepertinya Jegar mulai jengah dengan adik kembarnya, apa-apaan itu. Seperti sedang mengawasi anak kecil saja.

"Berhenti ngeliatin gue" ucapnya, melirik Jafar sekilas.

Jafar menegakkan tubuhnya, fokusnya masih pada lawan bicaranya.

"Lo masih anggep gue ada ngga sih sebenernya?" Tanya Jafar melangkahkan kaki mendekat pada Jegar yang masih  duduk menyandar pada dashboard ranjang.

"Ngga usah bicara omong kosong" Jegar memutar matanya malas.

"Omong kosong? Lo itu egois tau gak!" tunjuk Jafar pada Kakak kembarnya itu sedikit emosi.

Detik berikutnya pandangannya mendatar tanpa ekspresi, tapi dalam benaknya sangat bergemuruh.

"kalo ada apa-apa coba bicara dulu ke gue, jangan seenak jidat lo sendiri"

Jegar mengalihkan netranya membalas tatapan Adik kembarnya. Ucapan Jafar barusan mungkin tidak asing bagi keduanya. Karena itu juga Kalimat yang Jegar ucapkan pada Jafar beberapa tahun silam, saat Jafar memutuskan untuk memilih profesinya sebagai Dokter. Dan Jafar masih ingat benar kata-kata itu.

"Gue masih ingat jelas, ada orang yang bilang gitu ke gue dulu" Jafar mengalihkan pandangannya menatap lurus kedepan tepatnya pada jendela kamar yang terbuka dengan gorden putih yang tertiup angin di setiap sisinya.

Jegar masih dalam diam memperhatikan.

"Tapi bener kata Lo. Semuanya cuma omong kosong. Nyatanya Dia sendiri juga sama" lanjutnya dalam tatapan yang kosong.

Jegar menggerakkan bola matanya gelisah mencoba menimpali.

"Jangan berlebihan, Lo bicara hal yang gak penting—"

Mendengar itu Jafar serasa ditarik kesadarannya dan seketika emosinya kembali naik. Apa Jegar belum mengerti juga?

"BUAT GUE PENTING! Buat gue itu penting..." Tunjuk Jafar kasar pada dirinya sendiri. Matanya mulai memerah dan badannya kian menegang.

JUHAN & AKSARANYA ||  YANG JUNGWONWhere stories live. Discover now