55. Harusnya Usai

1.4K 227 35
                                    

Di luar ruangan bimbingan konseling, Jaena menepi sejenak dari Raynar dan Shireen yang tengah menunggu Jendra serta Edward yang sudah diamankan di dalam sana.

"Aku minta Om jangan ke sini, biar Tante aja. Ini bukan tentang Chandra yang dibully kayak dulu, tapi cuma salah paham." Ucap Jaena setelah menjelaskan kepada Jordan melalui sambungan telepon.

"Tapi Edward bukan yang salah kan?" Tanya Jordan.

"Aku nggak tau nanti Guru di dalam mutusinnya kayak gimana karena Chandra yang mukul lebih dulu." Balas Jaena.

"Tapi sebabnya udah jelaskan! Kenapa dia ngehina Bundanya Edward kayak gitu. Kalau bukan Bundanya yang dihina, Edward nggak akan mau repot-repot ngeluarin tenaga buat hal nggak bermanfaat kayak gitu." Ucap Jordan, masalahnya Yuna bukan hanya Ibu dari Edward, tapi juga Istrinya.

"Iya Om, aku tau." Balas Jaena.

"Biar Bundanya Edward Om telepon buat ke sana. Kalau bukan kamu yang minta, Om udah ke sana langsung." Ucap Jordan.

Dengan itu Jaena merasa sangat lega, bukan tanpa sebab dirinya menginginkan hanya Yuna yang datang, hal itu karena dirinya paham bagaimana Jordan akan bertindak langsung jika menyangkut tentang Anaknya.

Di dalam rungan bimbingan konseling  tidak hanya di isi oleh Jendra dan Edward, keduanya harus dihadapkan dengan tiga Guru laki-laki dan wanita yang terus saja berbicara tanpa henti.

"Bisa-bisanya kalian ini udah kelas dua belas, masa cuma gara-gara cewek sampe berantem nggak mau dipisah kayak gitu." Ucap Guru perempuan yang paling banyak bicara.

Mendengar kata tersebut membuat Edward mengangkat kepalanya tegak menatap Guru bernama Anita tersebut.

"Lebih baik Ibu diam, jangan bawa-bawa Shireen." Ucap Edward cukup tersinggung karena Shireen harus dilibatkan dalam masalah ini.

"He, kok kamu nggak sopan, Edward?"

"Ibu lebih nggak sopan karena bawa-bawa Adek saya." Jendra akhirnya ikut berkata.

"Udah di telepon orangtua mereka, Pak?" Tanya Guru perempuan tadi ke rekan sesama Guru di sana.

"Tinggal nunggu datang, Bu."

"Jangan harap kalian bisa lolos dari hukuman setelah berantem sampai bonyok kayak gini." Ucap Abdi, Guru bimbingan konseling.

"Terutama kamu, Jendra." Lanjutnya.

"Kenapa cuma saya, Pak? Padahal Edward duluan yang mukul." Balas Jendra tidak terima.

"Kalau kamu nggak memprovokasi, nggak mungkin Edward bakal tiba-tiba mukul." Balas Abdi.

"Bapak ini berpihak ke Edward, karena apa? Karena Bapak takut sama Ayahnya kan? Ini bukan rahasia lagi Pak, bahkan Kepala Sekolah aja kayaknya juga takut sama Ayahnya dia." Ucap Jendra sambil berdiri.

"Orang kayak lo seharusnya harus tau gimana kerasnya hidup sebenernya tanpa embel-embel bantuan keluarga lo, terlebih Ayah lo itu." Ucap Jendra kepada Edward yang masih duduk menatapnya.

"Ya karena aku punya Ayah buat diandalkan. Kenapa? Nggak punya Ayah?" Tanya Edward sambil menaikkan satu alisnya.

Edward salah, dia salah karena sampai mengungkit-ungkit tentang Jendra yang sudah ditinggal Ayah kandungnya untuk selamanya, membuat emosi Jendra kembali naik dan memukul rahang Edward dengan keras.

"Jangan bawa-bawa Papa gue!" Teriak Jendra.

Edward berdiri dengan cepat lalu mendorong tubuh besar Jendra menjauh, emosi keduanya kembali tersulut, terlihat jelas dari sorot mata masing-masing.

TarachandraWhere stories live. Discover now