45. Adik Selamanya

2.2K 294 19
                                    

20:00

Malam hari seperti ini, memang adalah waktu paling tepat untuk belajar bagi Anak seperti Edward, tidurnya mungkin tidak akan tenang sebelum belajar di malam hari.

Namun sejak beberapa menit yang lalu laki-laki itu merasa konsentrasi perlahan mulai pecah, ia sangat terganggu dengan dering ponselnya yang tidak berhenti.

"Ganggu banget. Dia nggak belajar apa?" Edward mendumel sendiri melihat nama Shireen di layar ponselnya.

Tangan kanan laki-laki itu menekan mode senyap agar dering ponselnya tidak lagi terdengar, dengan itu dirinya mungkin bisa kembali fokus untuk melanjutkan belajar.

Setidaknya itu berjalan kurang lebih tiga puluh menit sampai pintu kamar laki-laki itu diketuk dan disusul Yuna yang datang dengan satu kotak salad buah kesukaan Edward.

"Lagi belajar?" Tanya Yuna saat melihat layar komputer Anaknya tidak memperlihatkan game.

"Iya, Bunda." Balas Edward sambil menerima salad buah dari tangan Yuna.

"Bunda kira kamu lagi main game. Tapi akhir-akhir ini kamu lebih banyak belajar ya dari biasanya." Ucap Yuna setelah berpikir sebentar.

"Kan aku mau ujian kenaikan kelas. Pokoknya harus juara satu di kelas, kalau bisa dari seluruh murid kelas sebelas, harus bisa sih." Ucap Edward lalu menyuapkan satu sendok salad buah ke mulutnya.

"Jangan berlebihan, yang penting naik kelas. Kamu jangan terlalu mikir, nanti botak. Masa Ayah masih ganteng, kamu udah botak." Yuna tidak tahu apa menakut-nakuti seperti ini masih ampuh untuk putranya.

"Aku nggak mau kalau cuma sekadar naik kelas." Balas Edward.

Yuna tersenyum kecil, lalu mengelus pelan puncak kepala Edward dengan sayang. Kenapa putranya begitu ambisius?

Tapi jujur saja jika Yuna senang karena Edward terus berusaha untuk mengejar hal-hal baik. Sampai sebesar ini, anak itu telah tumbuh dengan baik.

"Itu hp kamu ada yang telepon kok nggak ada suaranya? Dikasih suara dong, sayang. Nanti kalau yang nelepon Ayah atau Bunda gimana kalau kamu nggak tau?" Tanya Yuna setelah melihat layar ponsel Edward menyala.

"Aku kasih nada dering kok, cuman ini sengaja aja karena aku mau fokus belajar." Edward memberikan pembelaan tentu saja.

"Diangkat aja sebentar, siapa tau penting kan." Ucap Yuna.

"Nggak ada yang lebih penting dari ujianku sekarang, kecuali Bunda." Jelas Edward.

Kata-kata seperti ini rasanya Yuna sudah kebal saat mendengarnya, mau itu dari Suami atau Anaknya, mereka berdua benar-benar manis.

"Oh iya aku lupa terus mau bilang Bunda."

"Apa?" Tanya Yuna cepat. Tidak luput juga wajah penasaran khas seorang Ibu.

"Aku kalau malem atau pagi kedinginan terus kalau nginjak lantai. Mau pakai sendal tapi nggak suka di dalem kamar. Bunda bisa beliin karpet bulu yang buat satu kamar nggak?" Edward menjelaskan keluh kesahnya.

"Bisa, tapi barang-barang kamu harus dikeluarin semua kalau mau dipasang." Balas Yuna.

"Nggak apa-apa, Bunda." Itu bukan masalah bagi Edward, yang penting setelah itu dirinya bisa merasa nyaman.

"Mau warna apa? Besok Bunda cariin, atau kamu mau ikut juga?" Tanya Yuna.

"Warna abu-abu aja. Bunda aja yang beli. Terus kira-kira waktu aku pulang sekolah udah selesai nggak masangnya di kamar?" Tanya Edward jelas sekali jika ingin hal itu cepat terjadi.

"Ya enggak dong, sayang. Kan Ayah ngelarang orang asing masuk rumah selagi dia nggak ada di rumah." Jelas Yuna.

Bekerja dilingkupi orang-orang bermasalah, kejahatan dan hukum membuat Jordan lebih menjaga rumah beserta keluarganya.

TarachandraWhere stories live. Discover now