29. Bukan Playboy

2.3K 454 50
                                    

Sesuai recana yang sudah disetujui sebelumnya, kini kedua teman lama itu sudah memilih tempat duduk dengan saling berhadapan.

Sebelumnya Edward berpikir untuk duduk di sebelah Luna, namun ia ingat jika mereka tidak sedekat itu sebelumnya.

"Chandra, kamu nggak suka sambel?" Tanya Luna saat melihat Edward hanya menambahkan sedikit di makanannya.

"Suka." Jawab Edward.

"Terus kenapa cuma segitu ambilnya?" Luna kan jadi heran.

"Nggak boleh sama Bunda." Balas Edward.

"Nanti kalau ketahuan malah diomelin lagi." Jelas Edward jujur.

Terlalu terus terang tanpa melihat situasi, Edward tidak sadar jika wajah cemberutnya begitu lucu untuk dipandang, bahkan sampai membuat Luna tertawa pelan.

"Masih sering sakit maag?" Tanya Luna. Ia ingat jika dulu teman sekelasnya itu beberapa kali tidak masuk sekolah saat sakit maagnya kambuh.

"Kadang-kadang. Kapan datangnya sakit itu nggak bisa diprediksi." Jawab Edward.

Luna mengangguk setuju. Jika sakit dapat diprediksi, maka manusia akan bisa lebih berhati-hati, namun terkadang diri sendirilah yang membuat penyakit itu datang menyerang.

Untuk beberapa saat keduanya larut dengan makanan masing-masing selagi masih hangat.

"Oh iya, aku nggak tau kalau kamu sekolah di sana. Yang aku tau cuma Marcus aja." Luna membuka suara kembali untuk memulai obrolan saat dirasa Edward diam saja.

Apa Edward tidak bisa memulai pembicaraan?

"Aku baru sekolah di sana. Tiga bulan ke belakang."

"Terus sebelumnya sekolah di mana? Aku sama sekali nggak pernah tau kabar kamu semenjak kelas empat."

Luna terus bertanya dan Edward menjawab. Sudah seperti kuis tanya jawab.

"Di rumah." Jawab Edward singkat namun bermakna, bahkan Luna sampai terdiam setelahnya.

Ini hal yang menyakitkan. Keduanya akan memulai pembicaraan yang mengarah ke kenangan buruk.

"Aku enam tahun sekolah di rumah." Jelas Edward.

"Chandra, aku nggak tau apa yang kamu rasain selama ini. Tapi kalau kamu emang merasa trauma selama ini, dan pada akhirnya mau kembali sekolah tanpa paksaan, itu artinya kamu hebat, untuk diri kamu sendiri dan nggak perlu dengerin omongan orang lain." Ucap Luna. Dirinya masih ingat bagaimana kejadian waktu itu begitu menggemparkan satu sekolah.

Bukan sebagai korban, Luna yang hanya melihat pun rasanya ikut terguncang, apalagi setelah itu susana kelas mulai berubah setelah ditinggal dua murid yang ada dan tidak akan pernah kembali.

"Hem, selama ini aku juga nggak pernah dengerin omongan orang lain. Aku menutup lingkungan ke orang asing, selain keluargaku sendiri. Kalau kata Ayah, nggak ada orang yang berhak mengomentari kehidupan orang lain, jadi nggak perlulah kita dengerin omongan orang lain yang nggak ada harganya." Balas Edward.

"Luna, sebelumnya aku mikir kalau aku bisa ketemu kamu lagi, aku bakal minta maaf buat sikapku yang terlalu kasar dulu, padahal Bundaku bilang kalau laki-laki nggak boleh menyakiti hati perempuan." Edward kembali berbicara, kali ini dengan topik yang berbeda.

"Jangan diambil serius. Dulu kita masih Anak-anak, masih labil. Aku juga nggak ambil pusing sikap cuek kamu." Balas Luna sambil tersenyum diakhir kalimatnya.

"Tapi aku tetap mau minta maaf." Edward masih pada pendiriannya. Ini juga alasan dirinya ingin bertemu Luna, ya itu untuk meminta maaf.

"Aku maafin." Ucap Luna pada akhirnya. Masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya.

TarachandraWhere stories live. Discover now