1. Malaikat kecil

14.8K 1.1K 27
                                    

Tarachandra Edward Bimasena, umur sepuluh tahun, kelas empat sekolah dasar, anak satu-satunya dari Ayah dan Bundanya. Hal terbaik dalam hidupnya hingga saat ini adalah saat melihat sang Bunda menyambut dirinya di depan teras rumah saat bus antar jemput dari sekolah mengantarkannya.

Tidak ada hal yang lebih sempurna lagi selain dari itu, Bundanya adalah segalanya bagi dirinya. Bundanya tidak pernah mengecewakan atau membuat dirinya sedih.

Singkatnya Yuna itu Bunda yang sempurna bagi Edward.

"Bunda." Senyum cerah dari wajah anak laki-laki itu terbit begitu saja saat baru saja turun dari bus, dan mendapati Yuna sudah berdiri di teras rumah sambil tersenyum menyambutnya.

Tubuh kecilnya dengan ringan Yuna gendong masuk ke rumah mereka. Memang anaknya ini terlewat menggemaskan, apalagi pipi tembem milik Edward rasanya tidak bisa dibiarkan begitu saja, tentu saja Yuna tidak akan bisa menahan dirinya untuk menciumi pipi putra sematawayangnya tersebut.

"Capek?" Tanya Yuna sambil mendudukkan tubuh kecil Edward di atas sofa.

Pasalnya wajah anaknya ini tampak bahagia sekali meskipun baru saja pulang dari sekolah, biasanya anak-anak akan merasa suntuk saat menginjakkan kaki di rumah setelah pulang dari sekolah, sama halnya dengan Jaena putra kedua dari Kakak kembarnya yang seumuran dengan Edward, anak itu bahkan terlihat sudah tidak punya semangat lagi jika pulang dari sekolah. Tapi Edward berbeda, bisa dikatakan anaknya ini terlalu hiperaktif.

"Gimana di sekolah tadi?" Tanya Yuna. Tangannya melepaskan tas dari punggung Edward, lalu membuka satu persatu kancing seragam sekolah yang dipakai putranya tersebut.

"Biasa aja, Bunda. Aku mau sekolah bareng Jaena aja." Lagi Edward mengutarakan hal ini.

Dia memang anak yang hiperaktif namun dengan dunianya sendiri, karena Edward cukup sulit berbaur jika dengan orang asing atau baru kenal. Mungkin itu juga yang menjadi penyebab anak itu tidak memiliki teman di kompleks rumah ini.

Temannya hanya Ayahnya itu pun saat pulang dari bekerja, selebihnya Edward cukup bahagia menghabiskan waktunya bersama sang Bunda.

Jaena mungkin bisa dikatakan Saudara rasa sahabat oleh Edward, mengingat umur mereka yang hanya berbeda beberapa bulan, bisa dikatakan keduanya seumuran. Tetapi mereka hanya bisa bertemu saat sedang ke rumah Kakek dan Neneknya saja karena Jaena berserta orangtuanya tinggal di luar kota.

"Sekolahnya Jae kan jauh, sayang." Yuna menangkup pipi anaknya saat melihat wajah murung anak itu.

Tidak tega sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Juna Kakak kembarnya memang harus mengikuti peraturan perusahaan tempat dia bekerja yang mewajibkan pindah ke luar kota, maka dari itu Istri dan kedua anaknya harus ikut bersamanya.

"Hari minggu kan kita ke rumah Kakek, Jae pasti ke sana juga. Jangan cemberut gini." Bujuk Yuna.

Bagaimana ini? wajah anaknya semakin menggemaskan saat cemberut seperti ini, tapi ini tentu saja tidak baik. Edward harus tetap bahagia.

Tidak menjawab, Edward malah mengalungkan kedua tangan mungilnya ke leher Yuna, menyembunyikan wajah dengan bibir mengerucut itu di lengkungan leher Bundanya tersebut.

"Ganti baju dulu yuk, terus makan siang. Habis itu Bunda temenin tidur." Yuna berdiri sambil menahan tubuh Edward, lalu tangan kirinya membawa tas anak itu menuju kamar.

Edward sudah mempunyai kamar sendiri, meskipun bisa dikatakan lebih sering menghabiskan tidur malamnya di kamar orangtuanya. Anak itu hanya akan memakai kamarnya saat tidur siang saja, itu pun ditemani Bundanya.

"Mau main." Balas anak itu masih di ceruk leher Yuna.

"Main apa?" Tanya Yuna setelah membuka kamar Edward dan menurunkannya ke atas tempat tidur.

TarachandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang