Melihat Jia masih tertidur pulas setelah apa yang ia lakukan, Janu membawa jari telunjuknya ke bawah lobang hidung gadis itu untuk memastikan; masih bernapas.
"Cil? Bangun..."

Alih-alih membuka kelopak mata, Jia hanya menggerakan bibir seperti pergerakan mulut ikan lalu bergerak untuk mencari posisi yang lebih nyaman.

Berhenti berusaha, Janu memutuskan untuk meninggalkan Jia di mobil. Kakinya terayun menaiki tangga menuju pintu utama di lantai dua.

"Lama banget, Nu? Hayoooo ngaku! Pasti habis ajak Jia kencan, kan? Kencan ke mana tuh? Ciyeee ciyeee Janu udah gede. Jadi pengin tau kamu sama Jia ngapain aja pas kencan." Suara berisik Tifanny menjadi sambutan untuk Janu yang baru memasuki ruang tamu. Janu menanggapi dengan senyum tipis.

Bangkit, Tifanny melangkah tergesa menghampiri putra semata wayangnya. Berdiri di hadapan sang anak, wanita itu mendongak lalu memulai sesi wawancara. "Gimana? Jia cantik aja atau cantik banget? Asyik, kan, orangnya? Tadi ngobrol apa aja selama kencan? Spill dong, penasaran banget nih. Oh iya, Mama udah bikin data semua temen Mama yang mau diundang ke pernikahanmu sama Jia nanti."

Sedikit rasa bersalah menyelimuti hati Janu ketika melihat bagaimana Tifanny terlihat berharap begitu banyak pada hubungannya dengan Jia. Sementara yang ia lakukan pada bocah itu sangat jauh dari ekspektasi Tifanny. Boro-boro mengajak Jia kencan, Janu saja membuatnya menunggu beberapa jam.

"Ngomong-ngomong mau indoor atau outdoor, Nu? Mama ada rekomendasi beberapa tanggal cantik loh. Dulu Mama juga make tanggal itu pas kamu sunat, kalau---"

"Ma," sela Janu tak ingin rasa bersalahnya bertambah banyak.

"Bentar, kok kayak ada yang kurang, ya?" Tifanny berusaha mengingat sesuatu. "Astaga! Mama baru inget. Jia mana?! Nggak kamu tinggal di rawa-rawa, kan, Nu?

"Ketiduran di mobil," jawab Janu enteng begitu duduk di sofa lantas melepaskan kancing tangan kemeja yang dikenakan. Kegiatan menggulung lengan kemejanya terhenti ketika bantal yang dilempar Tifanny menubruk lengan kirinya. "Mama kenapa lagi?"

"Jia kenapa ditinggal?!" Tifanny berkacak pinggang.

"Bocahnya tidur, Ma. Udah aku bangunin, tapi nggak bangun-bangun juga. Nanti kalo bangun juga bakal ke sini."

"Gendong, Nu... Jia-nya digendong! Masa gitu aja nggak ngerti! Mulai besok kamu harus drakoran sama Mama biar paham cara mainnya."

"Ma, Jia udah bisa jalan sendiri, nggak perlu digendong. Jia juga sehat, nggak lumpuh."

Tifanny menoleh ke arah suami yang sedari tadi memilih diam cari aman di pojokan.
"Mas," rengeknya.

Seorang Tifanny tidak perlu bicara panjang lebar ketika menginginkan sesuatu dari suaminya. Ia hanya perlu sedikit merengek dengan nada manja lalu memasang wajah penuh harap maka Doni akan mengerti.

Seperti sekarang ini. Meski tidak mengatakan apa-apa, tapi dengan cepat Doni mengambil tindakan. Pria itu menggeser posisi merapat ke Janu yang kurang peka pada situasi.

"Nu, demi kebaikan kita bersama terutama Papa, mending kamu bawa Jia ke sini, ya," pinta Doni.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Baby GirlWhere stories live. Discover now